NUSANTARA: KEBERAGAMAN SUMBERDAYA KEHIDUPAN DAN KEBERAGAMAN PENGETAHUAN KEBUDAYAAN

Ruddy Agusyanto

* Makalah Seminar “Sumbangan Peradaban Nusantara terhadap Peradaban Dunia Masa Depan”, pada tangal 5 Desember 2013, dalam acara Festival Agung Keraton se-Dunia.

 

Manusia dan Kebudayaan

 

Semua mahkluk hidup menghadapi masalah pokok yang sama yaitu masalah “bagaimana mampu menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup” (Haviland, 1988). Berdasarkan hal ini, maka secara tak langsung bisa dikatakan bahwa semua mahkluk hidup mempunyai kebutuhan-kebutuhan dasar yang sama – yang bersifat universal – yaitu sebuah kebutuhan yang tidak bisa ditawar agar kelangsungan hidupnya tetap terpelihara. Kebutuhan tersebut adalah kebutuhan-kebutuhan organisma sebagai mahkluk biologi sebab mati atau hidupnya organisma secara absolute adalah ditandai dengan matinya mereka sebagai mahkluk biologi. Oleh karena itu. sepanjang sejarah kehidupan manusia hingga hari ini bahwa kebutuhan biologi tetap menjadi prioritas umat manusia.

 

Food has been one of man’s foremost biological needs and obtaining food has always been his top priority (Khatry, 1984).

 

 

Dengan demikian, manusia sebagai mahkluk biologi mempunyai kebutuhan dasar yang sama dengan mahkluk biologi lainnya, yaitu kebutuhan dasar seperti air, udara (kandungan yang ada dalam udara), dan pangan/energi. Namun, dalam upaya pemenuhan kebutuhan hidupnya sebagai mahkluk biologi, manusia tidak bisa melakukannya seorang diri, ia memerlukan keberadaan atau bantuan orang lain – sebagai misal untuk mempertahankan keturunan (reproduksi – agar umat manusia tidak punah) maka ia membutuhkan manusia lain sebagai “pasangan”nya (suami atau istri). Oleh karena itu – mau tak mau – manusia harus membina kerjasama (membangun hubungan sosial) dengan manusia lainnya, yang pada akhirnya manusia membentuk satu kesatuan sosial (manusia sebagai mahkluk sosial). Oleh karena itu pula dalam kehidupannya, manusia hidup mengelompok sehingga ia tak hanya peduli untuk menjaga kelangsungan hidup pribadi, tetapi juga kelangsungan hidup kolektifnya. Selain kerjasama dengan sesamanya, dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidupnya tersebut, manusia juga dituntut untuk mengembangkan pola-pola perilaku (pedoman-pedoman):

  • Bagaimana memanfaatkan lingkungannya (baik lingkungan biotik dan abiotik) – bagaimana memperoleh dan menentukan jenis makanan, cara makan dan seterusnya;
  • Bagaimana agar sumber pangan/energi itu selalu cukup tersedia sehingga manusia mempunyai jaminan atas kelangsungan hidupnya ke depan (etnokonservasi).

 

Dengan demikian, meskipun manusia mempunyai kebutuhan-kebutuhan dasar yang sama dengan flora dan fauna sebagai mahkluk biologi tetapi bagaimana manusia bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya seperti bagaimana manusia bekerjasama untuk memperoleh energi/pangan, menentukan jenis pangan, cara makan dan minum, menghindari bahaya (tempat berlindung), bereproduksi  atau berketurunan.  dan seterusnya membuat manusia tidak sekedar sebagai mahkluk biologi seperti flora atau fauna.

 

Pedoman-pedoman untuk memenuhi kebutuhan hidup dan memecahkan masalah-masalah kehidupan yang dihadapi (pedoman hidup yang operasional) untuk dapat menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup inilah dinamakan kebudayaan (manusia sebagai mahkluk budaya). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa untuk menjaga atau mempertahankan kelangsungan hidupnya, manusia harus mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya sebagai mahkluk biologi (mati secara absolut sebagai makhluk biologi), dengan cara-cara sosial dan budaya.

 

Berkenaan dengan hal tersebut maka konsep adaptasi menjadi penting dalam konteks kelangsungan hidupnya sebab kebutuhan-kebutuhan hidupnya bersumber pada lingkungan fisik/a-biotik, biologi/biotik dan sosial di mana mereka hidup dan tinggal. Jadi, sekali lagi, manusia dituntut harus memahami lingkungannya di mana sumber-sumber “kebutuhan hidupnya” itu tersedia dan bagaimana agar sumber pangan itu selalu cukup tersedia dan seterusnya sehingga manusia mempunyai jaminan atas kelangsungan hidupnya ke depan atau “sepanjang waktu”. Namun, lingkungannya pun (mahkluk hidup lainnya – binatang dan tumbuh-tumbuhan juga mempertahankan kelangsungan hidupnya, dalam arti harus makan dan minum serta bereproduksi juga seperti manusia; demikian halnya dengan lingkungan a-biotik, ulah manusia mempengaruhi lingkungan a-biotik, dan sebaliknya lingkungan a-biotik akan bereaksi atas ulah manusia) sehingga lingkungan di mana manusia hidup juga dinamis (selalu mengalami perubahan). Artinya, manusia dituntut harus mampu beradaptasi dengan lingkungannya di mana mereka hidup, yang juga selalu dinamis. Jadi, adaptasi yang diperlukan adalah mengacu pada proses interaksi antara perubahan-perubahan yang ditimbulkan oleh organisma pada lingkungannya dan perubahan-perubahan yang ditimbulkan oleh lingkungan pada organisma (termasuk perubahan yang ditimbulkan oleh organisma pada organisma lain dan lingkungan a-biotik) – saling mempengaruhi secara timbal-balik. Kerangka pikir atau perspektif “adaptasi timbal-balik” yang dinamis seperti ini sangat diperlukan agar manusia mampu bertahan hidup atau menjaga keberlangsungan hidup pribadi dan “kelompok”nya. Oleh karena itu, kebudayaan atau pedoman hidup – cara-cara pemenuhan kebutuhan hidup – juga harus bersifat adaptif, yaitu selalu sesuai dengan lingkungan alam/abiotik dan biotik (ekosistem) serta lingkungan sosial di mana mereka hidup dan tinggal, sehingga peluang untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya menjadi lebih besar.

 

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kebudayaan adalah hal yang mendasar bagi kelangsungan hidup umat manusia – baik kelangsungan hidup pribadi maupun kolektif. Oleh sebab itu kebudayaan selalu dituntut harus mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan mendasar dan mampu memecahkan masalah-masalah kehidupan para pendukungnya. Maka dari itu, kebudayaan itu sendiri – mau tak mau – harus mampu bertahan yaitu menjaga kelestarian dirinya sendiri sehingga kebudayaan tersebut oleh masyarakat pendukungnya harus:

  1. Selalu dikembangkan agar tetap adaptif terhadap lingkungan hidupnya (dalam hal ini, konsep “perubahan” menjadi penting). Oleh karena itu, dalam kebudayaan tidak ada yang derajatnya lebih tinggi atau lebih rendah dari kebudayaan yang lain. Kebudayaan Eropa Barat bukanlah tahap puncak dari evolusi kebudayaan seperti dalam teori evolusi Darwin. Demikian halnya dengan kebudayaan yang merasa lebih “kompleks” dari kebudayaan yang lain sebab “kekompleksan kebudayaan” tidak berarti menjadikannya lebih tinggi dari kebudayaan yang dianggapnya lebih “sederhana”. Sebagai contoh, ketika orang “modern” tersesat di hutan belantara maka kebudayaan “modernnya” tidak akan banyak manfaatnya sehingga ia membutuhkan kedahiran tim SAR sesegera mungkin; dan begitu juga sebaliknya.

 

 

Contoh konsep etno-konservasi adalah ritual hari raya “Nyepi” di mana seluruh warga Bali dilarang menyalakan “api” (termasuk memasak dengan menggunakan api, tidak boleh menyalakan lampu), yang sudah dilakukan oleh masyarakat Bali sejak 1.934 tahun yang lalu. Sementara WWF menghimbau pada hari penyelamatan bumi untuk mematikan listrik satu jam[1] kepada dunia di tahun ini. Ini sungguh ironis, masyarakat Bali yang dianggap masyarakat “tradisional”, ternyata memiliki konsep etno-konservasi jauh “lebih modern” dari WWF (Agusyanto, 2013).

 

 

  1. Disebarluaskan dan diwariskan melalui proses belajar (proses sosialisasi, internalisasi dan enkulturasi – tidak diturunkan secara genetik) agar bisa digunakan oleh masyarakat pendukungnya supaya tetap mampu menjaga kelangsungan hidup kolektifnya. Kebudayaan harus disebarkan atau diwariskan, baik secara horizontal mau pun secara vertical (generasi ke generasi) kepada seluruh anggotanya.

 

 

Dengan lestarinya kebudayaan (selalu adaptif dan dimiliki /dipergunakan sebagai pedoman hidup oleh masyarakatnya) maka secara tak langsung eksistensi masyarakat pendukung kebudayaan tersebut juga terjamin kelangsungan hidupnya. Untuk itulah masyarakat berkepentingan untuk terus berupaya menjaga kelestarian kebudayaannya dengan cara menyebar-luaskan atau mewariskan kepada seluruh anggota pendukung kebudayaan yang bersangkutan – dari generasi ke generasi – agar terus dilestarikan dan dikembangkan sesuai dengan dinamika kehidupannya (dinamika kebutuhan dan ketersediaan sumberdayanya) sehingga kebudayaan tersebut tetap “operasional” untuk menjalani kehidupan. Dengan kata lain, jika kebudayaan tidak selalu dikembangkan untuk selalu adaptif dan tidak diwariskan (horizontal dan vertical) oleh para pendukung kebudayaan yang bersangkutan, atau jika mengalami gangguan atas dua proses tersebut maka mereka akan menghadapi resiko kepunahan.

 

 

Biodiversitas Dan Diversitas Pengetahuan Kebudayaan

 

 

However, environmental differences did create substantial contrasts among the world’s foragers. Some, such as the people who lived in Europe during the ice ages, were big-game hunters. Today, hunters in the Arctic still focus on large animals and herd animals; they have much less vegetation and variety in their diets than do tropical foragers. In general, as one moves from colder to warmer areas, there is an increase in the number of species. The tropics contain tremendous biodiversity, a great variety of plant and animal species, many of which have been used by human foragers. Tropical foragers typically hunt and gather a wide range of plant and animal life. (Kottak, 2011, hal. 157).

 

 

Daya dukung lingkungan ini membuat masyarakat tropis. pada jaman berburu-meramu, mereka mampu hidup subsisten.

 

People rely on available natural resources for their subsistence, rather than controlling the reproduction of plants and animals (Kottak, 2011).

 

The foraging way of life survived into modern times in certain environments (see Figure 7.1), including a few islands and forests, along with deserts and very cold areas—places where food production was not practicable with simple technology (see Lee and Daly 1999).

 

Jadi, jelas bahwa berburu-meramu-subsiten adalah way of life – bukan sistem mata pencaharian hidup atau sebuah kegiatan ekonomi. Oleh karena itu pula, banyak ahli berpendapat bahwa “semakin subsisten sebuah masyarakat maka semakin egaliter[2]. Kehidupan tropis dominan diwarnai oleh prinsip hidup kerjasama, dibanding prinsip hidup persaingan.

 

In many areas, foragers had been exposed to the “idea” of food production but never adopted it because their own economies provided a perfectly adequate and nutritious diet—with a lot less work.(Kottak, 2011).

 

Tapi sayangnya, masyarakat akademis tetap memahami pola hidup subsisten sebagai sebuah kegiatan ekonomi atau produksi sehingga orang tropis sering dilebel sebagai “pemalas”.

 

Kembali kepada masalah hubungan antara “keberagaman lingkungan hidup dan keberagaman pengetahuan kebudayaan”, berdasarkan uraian tentang “manusia dan kebudayaan” di atas maka kebudayaan bisa didefinisikan sebagai pedoman hidup yang berisi pedoman-pedoman tentang konsep-konsep atau teori-teori (etnoscience) tentang:

  1. Lingkungan biotik-abiotik dan hubungan manusia dengan lingkungan biotik-abiotik;
  2. Manusia dan hubungan manusia dengan manusia lain;
  3. Pencipta atau kehidupan, dan hubungan manusia dengan Pencipta (Tuhan), yang menciptakan lingkungan biotik-abiotik dan manusia.

 

Sementara itu, Nusantara sebagai sebuah wilayah geografi yang berada di bawah iklim tropis, di mana mempunyai biodiversity yang luar biasa sehingga kebudayaan sebagai pedoman hidup – etnoscience – tentunya akan memiliki diversitas atau keberagaman yang juga luar biasa, sesuai atau sekaya keberagaman lingkungan hidupnya. Sebagai contoh, kebudayaan tropis mengenal hampir 200 kategori umbi-umbian atau mempunyai kategori makanan olahan yang berasal dari padi (nasi goreng, timbel, karak, bubur dan sebagainya); demikian juga dengan kebudayaan Eskimo pastinya mengenal beragam jenis es atau hal-hal yang berkaitan dengan cuaca ekstrim dingin. Artinya, kita tidak akan pernah mengembangkan pengetahuan (apapun) tentang segala sesuatu, jika kita tidak pernah melihat. Sebagai contoh, kita tidak mungkin mengembangkan penciptaan suatu alat yang kita butuhkan – yang ada unsur bambunya – jika kita sepanjang hidup tidak pernah melihat pohon bambu. Oleh karena itu, revolusi industri sejatinya bukanlah akibat “perkembangan ilmu pengetahuan” sebagai faktor utama, tetapi “bahan baku industri atau sumberdaya alam” sebab Inggris saat itu mempunyai wilayah jajahan hampir 100 wilayah yang kaya akan sumberdaya alam. Itu juga yang menjelaskan mengapa revolusi industri dipelopori oleh Inggris.

 

 

Man has, in all circumstances, tried to adapt his environments. He has always managed to procure food from the surrounding resources and developed as adequate knowledge about the resources as well as the technical means to exploit them for his survival. Quite often he had to compare with other wild animals for food but he learned how to live in a symbiotic relationship with other competitors and the resources in varied environments.

 

… in all regions wherever they lived the significant features of their way of life and the physical environment which they lived in is fundamentally the same. That is, there exist close relationship between man and surrounding; man always tries to maintain balance between his need and the capacity of the resource.

 

… a new relation between man and the plants was formed as man changed the natural environment into cultural landscape (Khatry, 1984).

 

 

Oleh karena itu pula, Oppenheimer menyatakan bahwa budaya bercocok tanam (pertanian sistematis) ditemukan jauh lebih awal di Indonesia, yang beriklim tropis, yaitu sekitar 17.000 tahun yang lalu oleh Oppenheimer dalam bukunya yang berjudul Eden in The East. Dan, ia menyimpulkan bahwa Asia Tenggara (wilayah tropis) telah menyuburkan budaya-budaya hebat tidak hanya budaya Timur Jauh, tapi juga Timur Tengah dan Timur Dekat lebih dari 7.000 tahun lalu, dan memberi Eurasia dengan perpustakaan cerita rakyatnya”.

 

 

Pertama, “Asia Tenggara merupakan salah satu daerah dengan budaya yang paling beragam, paling tua, dan paling kaya di Bumi. Namun, para ahli sejarah telah lalai dan beranggapan bahwa budaya Asia Tenggara hanyalah cabang sekunder dari peradaban Asia daratan di India dan Cina. Pandangan yang menyepelekan itu tidak pada tempatnya dan tidak menghiraukan bukti masa lalu dan kerumitan yang unik”. Kedua, “Para etnografer sering menemukan kepercayaan-kepercayaan religius yang magis dan mitologis di antara para penghuni pulau-pulau Pasifik yang mempunyai hubungan erat dengan budaya-budaya Eropa dan Timur Dekat. Biasanya mereka membuat anggapan tentang pengaruh Barat ke Timur. Namun, tidak ada bukti aliran budaya seperti itu sebelum periode yang relatif baru, yaitu penjelajahan Eropa”. Selanjutnya dikatakannya bahwa “Perkembangan-perkembangan di Asia Tenggara ini secara umum dianggap terpisah dari peristiwa-peristiwa sama yang terjadi jauh di Barat, dan pasti ribuan tahun sebelum tiba pengaruh India di Asia Tenggara selama awal masa Kristen. Bagian-bagian Asia Tenggara menguasai keahlian yang sama dengan peradaban Sumeria, Mesir, dan Lembah Indus, dengan waktu yang sama atau bahkan lebih awal. Kalau orang-orang Asia Tenggara mempelajari keahlian-keahlian peradaban mereka dari India, siapa yang mengajari mereka pertanian dan teknologi metalurgi ribuan tahun sebelumnya?” (Oppenheimer, 2012). Huruf tebal dari penilis.

 

 

Demikian juga dengan Geertz yang mengatakan bahwa orang Indonesia sudah mengenal pertanian sebelum masehi.

 

 

Kondisi geografis dan geologis serta tersedianya sumber-sumber bahan untuk keperluan pertanian menyebabkan pertanian sudah dikenal di Indonesia sejak masa sebelum Masehi (Geertz, 1983: 38).

 

 

Namun, kenyataan hari ini, Nusantara tidaklah demikian adanya seperti apa yang terjadi ribuan tahun yang lalu?

 

Each year, more and more foragers come under the control of nation-states and are influenced by forces of globalization (Kottak, 2011).

 

 

Ini adalah sebuah pertanyaan besar yang harus kita jawab. Mengapa dan bagaimana hal ini bisa terjadi?

 

 

 

Pembangunan: Terputusnya Transmisi Kebudayaan Dan Peran Keraton

 

Paradigma yang digunakan selama ini untuk merumuskan pembangunan selalu menempatkan “ekonomi” sebagai yang utama (orientasi ekonomi). Manusia dipahami sebagai mahkluk ekonomi (direduksi, dari sebagai mahkluk biologi-sosial-budaya menjadi mahkluk ekonomi). Oleh karena itu, pembangunan selalu dikaitkan dengan masalah “produksi” dan “alat produksi” dalam rangka “eksploitasi” lingkungan biotik dan abiotik – dalam kerangka “hitungan ekonomik” (rasionalitas ekonomi atau prinsip hidup kelangkaan sumberdaya).

 

Pembangunan ini membawa dampak pada “kerusakan” lingkungan biotik dan abiotik, yang pada akhirnya “mengganggu” masalah ketersediaan sumber energi dan pangan serta kohesi sosial (kerjasama) terhadap kelangsungan hidup umat manusia ke depan (prinsip kerjasama berubah menjadi persaingan). Dan konsekuensi yang lebih mendasar adalah terputusnya transmisi kebudayaan – terputusnya proses pelestarian kebudayaan – yaitu proses upaya pengembangan agar selalu adaptif (proses rekonstruksi dan reproduksi) dan proses penyebaran/pewarisan kebudayaan (etnoscience/kearifan lokal – kebudayaan yang adaptif terhadap karakter geografi di mana mereka tinggal dan hidup) di Nusantara. Terputusnya proses transmisi kebudayaan ini akhirnya mengakibatkan daya adaptasi (tentunya juga daya saing) menjadi lemah sehingga masyarakat tidak mampu lagi merespons dinamika lingkungan hidupnya secara adaptif. Akibatnya selanjutnya, pengetahuan budaya (etnoscience atau kearifan lokal) banyak yang tak terwariskan/hilang. Mis. Etnoscience mengenai rumah anti gempa dan pengelolaan air tak terwariskan pada generasi sekarang. Masyarakat mengganti rumah adat/panggung dengan rumah batako karena dianggap “semi permanen” dan mencerminkan “kemiskinan” dan alasan-alasan lainnya. Padahal, rumah-rumah batako semuanya ambruk pada saat terjadi gempa di Sukabumi beberapa tahun yang lalu, sedangkan rumah-rumah adat tak satu pun yang ambruk. Pedoman hidup leluhur tentang rumah panggung – teknik pasak/ikat dan panggung – ternyata lebih adaptif bagi wilayah yang memang daerah gempa. Tak hanya itu, teknik rumah adat tersebut juga merupakan respons adaptif terhadap daerah air (pengelolaan air) – mencegah banjir tapi tidak kekurangan air. Akibat tergusurnya rumah panggung, saat ini, hampir seluruh kota-kota di Nusantara mengalami banjir dan kemacetan ketika musim hujan (Agusyanto, 2013).

 

Kondisi ini (sumberdaya semakin terbatas dan kerusakan lingkungan), akhirnya melahirkan konsep “pembangunan berkelanjutan”, yaitu pembangunan yang mempertimbangkan “kelestarian” lingkungan biotik dan abiotik  – seperti yang sedang hangat akhir-akhir ini dengan istilah “pembangunan ramah lingkungan” – akan tetapi tetap saja lingkungan sosial dan budaya tak termasuk dalam pertimbangan pembangunan berkelanjutan. Paradigma pembangunan berkelanjutan yang ramah lingkungan ini sesungguhnya juga tidak berubah, di mana “manusia masih dipahami sebagai mahkluk ekonomi” (orientasi pembangunan ekonomi – rasionalitas ekonomi). Manusia masih dilihat terpisah dari lingkungan biotik dan abiotik. Tidak dipahami sebagai satu kesatuan kehidupan, yang tak terpisah satu sama lain. Akibatnya, konsep “pelestarian” dalam pembangunan berkelanjutan berbeda dengan konsep “pelestarian’ dalam kebudayaan (kearifan lokal – etnoscience) di mana manusia tetap diperlakukan sebagai obyek/target, bukan sebagai target sekaligus subyek dalam pembangunan berkelanjutan. Bahkan pada kejadian ekstrim, justru lebih mementingkan kelestarian flora dan fauna, ketimbang kelestarian umat manusia (karena manusia dilihat terpisah dari lingkungan di mana mereka tinggal dan hidup). Konsekuensi lainnya, kebudayaan industri dianggap lebih tinggi. Pembangunan identik dengan membangunbudaya industri”. Padahal kebudayaan industri tak selalu cocok dengan lingkungan biotik, abiotik dan sosial-budaya – yang menjadi lingkungan hidup masyarakat yang bersangkutan (target); dan kebudayaan industri tidaklah lebih tinggi dari kebudayaan lainnya (tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah) sehingga “kearifan lokal atau etnoscience” seringkali justru dianggap sebagai “hambatan pembangunan” atau “patologi sosial”.

 

Akibatnya, dalam banyak kenyataan, kebudayaan suatu masyarakat tidak lagi operasional (tidak adaptif = mal-adaptif) karena sudah tidak sesuai dengan dinamika lingkungan hidup dan kebutuhan hidupnya. Dari banyak kasus (data lapangan) menunjukkan bahwa:

  • Mal-adaptif terjadi karena/sebagai akibat dari lingkungan hidupnya yang berubah mendadak karena: dirusak oleh pihak luar (pembangunan)  – sengaja atau pun tidak sengaja (karena ketidak-pahamannya)
  • Pengetahuan kebudayaan “terpaksa” (dipaksa tanpa sengaja) seperti hasil lapangan ekspedisi Geografi – Badan Informasi Geospasial di Gunung Kidul, laporan lapangan di Padang/Bukit Tinggi (pokja Dewan Pertimbangan Presiden Bidang Pendidikan dan Kebudayaan) juga hasil lapangan lainnya – terputus transmisinya.Terputusnya transmisi kebudayaan tersebut menyebabkan pengetahuan kebudayaannya (yang “baru”) tidak sesuai dengan lingkungan hidupnya; akhirnya kehilangan kemampuan untuk menjaga kelangsungan hidupnya ke depan.
  • Secara langsung atau tidak langsung, potensi dan keunggulan (adaptif) yang kita miliki (warisan leluhur) semakin lama semakin hilang.

 

Pembangunan, sesungguhnya/seharusnya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan atau kelangsungan hidup umat manusia ke depan, oleh karena itu:

  • Manusia harus dilihat tidak terpisah dengan lingkungan di mana mereka tinggal dan hidup (sebagai satu kesatuan kehidupan) dan manusia sebagai sentralnya.
  • Pembangunan harus memahami dan menjadikan kebudayaan/etnoscience/kearifan lokal masyarakat yang bersangkutan sebagai pijakan, sebab semua unsur dalam kebudayaan/kearifan lokal saling terikat satu sama lain sbg satu kesatuan. Jika salah satu unsur hilang atau dihilangkan maka akan mempengaruhi unsur-unsur lainnya; dan dalam perjalanan waktu dapat mengakibatkan hilangnya kearifan lokal dan akan mengakibatkan terganggunya kelangsungan hidup masyarakat yang bersangkutan di masa yang akan datang.

 

Sesuai dengan acara “Festival Agung Keraton se-Dunia” maka peran dan fungsi keraton diharapkan dapat menjadi “benteng preservasi” atau “penjaga gawang” sebab ia merupakan “tempat” di mana “cultural knowledge/etnoscience” yang dimiliki oleh rakyatnya – yang dianggap “terlengkap dan agung” tersimpan (sejak masuknya konsep kerajaan masuk ke Nusantara). Oleh karena itu, ketika seseorang ingin menjalankan prosesi perkawinan adat yang lengkap misalnya, maka acuan yang dianggap “paling lengkap” adalah patokan dari keraton (umumnya, saat ini masyarakat hampir tidak mengetahui dan memahami secara utuh; dan yang sering tersisa hanyalah penjelasan “mistis”nya saja – tapi penjelasan dari sisi cultural knowledgenya sudah hilang). Atas dasar ini pula, tidaklah keliru jika “reinvensi kebudayaan (etnoscience) warisan leluhur Nusantara” di mulai dari keraton dan juga diperlukan upaya untuk terus “melestarikan” – dalam arti diupayakan selalu adaptif dan selalu diwariskan – sebagai pedoman hidup yang operasional bagi kelangsungan hidup manusia pendukungnya, untuk kehidupan hari ini dan masa yang akan datang.

 

 

Kepustakaan

 

Agusyanto, Ruddy.

   2012   “Kelangsungan Hidup dan Teritori Sumberdaya”, dalam NKRI Dari Masa Ke Masa (Karsidi dkk., ed.). Bogor: Sains Press, hal. 183-193.

   2013a Budaya Sontoloyo, Matahari Itu Berkah Atau Kutukan? Tropis Adalah Awal Dan Pusat Peradaban. Jakarta: Institut Antropologi Indonesia.

   2013a “Air adalah Tanda Kehidupan”, dalam Menentang Banjir. Cibinong: Badan Informasi Geospasial, hal. 148-157.

   2013b “Banjir, Langka Air (Bahan Baku Air Bersih) Dan Kemacetan Lalu-Lintas Akan Melanda Seluruh Kota Di Indonesia: Tinggal Menunggu Waktu”, dalam Menentang Banjir. Cibinong: Badan Informasi Geospasial, hal. 186-187.

 

Geertz, Clifford.

   1973The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books, Inc., Publishers.

   1983    Involusi Pertanian, Proses Perubahan Ekologi di Indonesia. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.

 

Haviland, William A.

   1988    Antropologi, jilid 1 dan 2 (terj.). Jakarta: Penerbit Erlangga.

 

Kottak, Conrad Philip.

   2011   Cultural Anthropology: Appreciating Cultural Diversity (International Edition). Michigan, USA: McGraw-Hill, Inc.

 

Lee, R. B., and R. H. Daly.

   1999    The Cambridge Encyclopedia of Hunters and Gatherers. New York: Cambridge University Press.

 

Oppenheimer, Stephen.

   2010   Eden in the East (Surga di Timur: Benua yang Tenggelam di Asia Tenggara). Jakarta: Ufuk Publisher House.

 

Sumber Internet:

Khatry, Prem K (1984) From Hunting-Gathering to Food Production: A Brief Look on Impact of Early Man’s Shift to Farming dalam Himalaya.sosanth.com.oc.uk/collection/journal/ancientnepal/pdf/ancient_nepal_84_02.pdf

 


[1] Sabtu, 31 Maret ini (2012), seluruh dunia akan merayakan Earth Hour, suatu kegiatan sederhana dimana Anda diminta untuk mematikan listrik selama 1 jam, mulai dari 20.30 – 21.30. Konon, dengan mematikan listik selama satu jam tersebut, Anda bukan hanya menunjukkan kepedulian namun juga berkontribusi dalam menkonservasi energi di bumi. Jadi, jangan lupa matikan listrik Anda ya : Support EARTH HOUR! Salah satu cara Anda juga turut mendukung Earth Hour dan upaya konservasi lingkungan sepanjang tahun (http://wwfindonesia.multiply.com/?utm_source=multiplyemail&utm_medium=marketplace&utm_campaign=ID201213&utm_content=link_store_wwfindonesia).

 

[2] Resources were adequate – competition and aggression were discouraged…(Kottak, 2011).

Tentang pajs indonesia

Antropogist Paradigma Jaringan Sosial Kualitatif-Konstruktivis
Pos ini dipublikasikan di Uncategorized. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar