Parpol Hanya untuk Tiket Pendaftaran
Ruddy Agusyanto
“Dunia politik itu tidak ada yang abadi”, begitu sering diucapkan oleh para pakar atau pengamat dan tokoh politik sehingga tanpa kita sadari, jargon tersebut menjadi sebuah “keyakinan” di dunia politik negeri ini. Ketidakpastian itulah yang abadi. Siapa teman dan siapa lawan bisa saling tukar tempat kapan saja… itulah politik. Jika memang demikian, tentunya sungguh sulit membuat analisis atau prediksi terhadap fenomena, gejala atau peristiwa politik. Kalau sudah demikian, seharusnya juga tidak perlu ada ilmu pengetahuan yang namanya ilmu politik?
Jargon tersebut muncul di saat terjadi kebuntuan analisis, yaitu di saat tak bisa menjelaskan perubahan-perubahan yang terjadi. Para pengamat atau pakar politik serta elite politik masih berpikir bahwa masyarakat itu homogen sehingga memandang masyarakat terkotak-kotak.
Saat ini, sangatlah sulit menjumpai masyarakat yang homogen seperti itu sehingga teori dan konsep tersebut tidak mampu menjelaskan kompleksitas yang terjadi. Memandang sebuah parpol sebagai satu kesatuan sosial yang homogen membuat kita tidak melihat variasi dan dinamika sikap-tindakan-perilaku (yang terjadi sesungguhnya) sehingga tidak mampu menangkap dan memprediksi serta menjelaskan proses “perubahan” yang terjadi.
“Muatan Kepentingan” Para Tokoh
Berdasarkan hal ini maka ideologi juga tidak signifikan untuk menganalisis parpol di Indonesia. Seorang pendiri sebuah parpol pun bisa pindah ke parpol lain, yang tidak sama secara ideologis – apalagi kader. Kader hanya loyal kepada tokoh atau elite tertentu, bukan kepada ideologi parpolnya. Dengan demikian, tidak ada dukungan suara yang stabil. Oleh karena itu pula, sangat diragukan sebuah wilayah administratif tertentu atau kelompok/golongan sosial bisa diklaim sebagai “basis” parpol tertentu. Jika parpol tidak lagi ideologis, bagaimana kita bisa menjamin bahwa suatu wilayah, kelompok atau golongan sosial tertentu adalah basis parpol tertentu?
Dengan kenyataan bahwa selama pendukung dan atau kader masih berafiliasi kepada tokoh maka capres dan cawapres yang berpotensi menang juga tidak ditentukan oleh parpol yang mengusungnya. Banyak contoh dari berbagai pilkada – calon dari parpol bukan pemenang pemilu pun bisa menang meski pesaingnya adalah tokoh dari parpol pemenang pemilu.
Berdasarkan kenyataan di atas, interaksi dan hubungan sosial yang dibangun dalam proses koalisi antarparpol, jelas didominasi “muatan kepentingan” para tokoh politik (yang katanya telah mereka konsolidasikan di internal parpol masing-masing). Dalam paradigma Analisis Jaringan Sosial, proses koalisi antarparpol yang sedang berlangsung ini bisa dikategorisasikan sebagai jaringan kepentingan.
Seni Ketidakpastian
Jaringan kepentingan adalah jaringan sosial yang terbentuk atas dasar hubungan-hubungan sosial yang bermakna pada tujuan-tujuan tertentu atau khusus yang ingin dicapai oleh para pelaku (dalam hal ini para elite atau tokoh politik masing-masing parpol). Bila tujuan-tujuan tersebut sifatnya spesifik dan konkret – seperti memeroleh barang, pelayanan, pekerjaan dan sejenisnya – setelah tujuan-tujuan tersebut tercapai biasanya hubungan-hubungan tersebut tidak berkelanjutan. Bila tujuan-tujuan dari hubungan-hubungan sosial yang terwujud adalah spesifik dan konkret seperti ini maka struktur sosial yang lahir dari jaringan sosial tipe ini juga sebentar dan berubah-ubah.
Penulis adalah Pengajar dan Associate Researcher Pusat Kajian Antropologi–FISIP UI, Pusat Analisa Jaringan Sosial. Juga mengajar di PTIK.
11 Mei 2009
Copyright © Sinar Harapan 2008
Diposkan oleh PAJS Pusat Analisa Jaringan Sosial