Termuda yang Terhempas

Termuda yang Terhempas
(Ruddy Agusyanto)

Apapun sebutan sistem pemilihan – pilkada – adalah sistem politik voting, yaitu siapa yang berhasil mengumpulkan suara terbanyak adalah pemenangnya. Oleh karenanya, masing-masing paslon harus mengaktifkan persamaan dan perbedaan yang signifikan bagi dirinya dan bagi rivalnya untuk mendulang suara sebanyak-banyaknya

Sementara itu, di pilkada DKI Jakarta (pilgub), gubernur pertahana ikut mengajukan diri sebagai calon, tepatnya gubernur dan wakilnya mendaftar sebagai paslon pilkada DKI untuk periode 2017-2022. Dengan keikutsertaan paslon pertahana, maka siapapun paslon yang akan ikut berkompetisi dalam pilkada tersebut, mau tidak mau, harus mengidentifikasi dirinya dengan bercermin pada sang paslon pertahana – apa yang sama dan apa yang berbeda dengan dirinya untuk diaktifkan agar mendapat dukungan sosial sebesar-besarnya. Dan, juga pastinya, siapapun paslonnya, mereka akan mengkritisi sang pertahana, baik berupa evaluasi kinerjanya maupun kelemahan-kelemahan di luar masalah kinerja dan track recordnya. Demikian juga jika jumlah paslon pesaing lebih dari satu, maka semua paslon non-pertahana akan cenderung tetap bercermin pada paslon pertahana, bukan kepada paslon non-pertahana lainnya. Oleh karena itu pula, tak jarang terlihat seolah-olah para paslon non-pertahana bersama-sama menyerang kelemahan paslon pertahana – terkesan mengeroyok paslon pertahana. Ini wajar-wajar saja, sebab paslon non-pertahana berfikir bahwa pilkada ini adalah kompetisi memilih “gubernur baru”, Mereka harus merebut kursi yang diduduki oleh pertahana. Jadi, mereka harus mengalahkan paslon pertahana. Maka, tidaklah heran pula jika paslon no.3 menyerukan bahwa DKI Jakarta menginginkan Gubernur Baru. Demikian juga dengan paslon no.1, DKI Jakarta membutuhkan Gubernur yang berbeda dengan Gubernur pertahana, yang memimpin dengan hati.
Namun, semua itu dirasakan tidak cukup kuat untuk mengkritisi, apalagi sebagai sebuah serangan, sebab paslon pertahana mempunyai kekuatan pada hasil kerjanya selama mereka menjabat, banyak prestasinya yang bisa diakui oleh sebagian warga DKI Jakarta. Dan, masalah yang bisa dianggap sebagai kelemahan paslon pertahana ini masih bersifat debatable.

Dengan kondisi seperti ini, meskipun sangat klasik dan tradisional, juga riskan karena dampak sosialnya bisa sangat mahal. Tapi karena keampuhannya yang tak perlu diragukan, apa boleh buat, pengaktifkan persamaan dan perbedaan primordialpun dirasakan perlu untuk ditempuh – apapun konsekuensinya. Dan, secara kebetulan paslon pertahana menyandang identitas double minority yang kebetulan pula merupakan golongan sosial minoritas yang lemah di DKI Jakarta dan Indonesia secara keseluruhan, yaitu non-pribumi (keturunan Cina) dan non-Muslim. Mengapa double minority ini menjadi penting bagi para paslon non-pertahana, sebab pilkada adalah politik voting, alias “yang mampu meraup suara terbanyak adalah pemenangnya”, harus bisa merebut hati golongan mayoritas pemilihnya. Maka dari itu, beberapa waktu sebelum pilkada secara resmi dimulai, secara kebetulan pula sang Gubernur pertahana kepleset lidah menyinggung AM51 (saya sebut kepleset lidah, sebab pilkada adalah politik voting, di mana sangat tabu berbuat kesalahan terhadap golongan mayoritas pemilihnya). Kejadian ini tentunya tidak disia-siakan oleh rival politiknya atau calon rival peserta pilkadanya. Pendapat keagamaan MUI pun dipahami oleh ormas dan jaringan sosial rival politik sebagai sebuah Fatwa. Maka sejak itulah proses pembentukan identitas sosial paslon mulai berlangsung. Saat pilkada DKI Jakarta dibuka secara resmi, maka sejak saat itu sudah mulai terbentuk pula identitas sosial para paslon yang mendaftar. Seiring berjalannya waktu, identitas paslon seolah-olah terbelah menjadi paslon Muslim-Bela Islam dan paslon Kafir-Munafiqun.

Proses sosial ini terus diperkuat dengan aksi Bela Islam – aksi 411, 212 dan 122. Oleh karena itu, sebagai counter dari paslon pertahana dan jaringannya menyerukan pentingnya kesadaran akan keberagaman. Respons ini akhirnya memperoleh dukungan dari golongan Muslim Moderat, sebagai akibat dikotomi golongan sosial Muslim-Kafir, sehingga menjadi Muslim Bela Islam vs Kafir-munafiqun.

Namun, selama proses terbelahnya identitas sosial ketiga paslon, terjadi pula polemik politik antara SBY (sebagai Presiden ke-6 dan Ketua Partai Demokrat pengusung paslon no.1) dengan paslon pertahana dan pemerintahan JKW. Polemik politik tersebut bisa dibilang mendistorsi proses pembentukan identitas sosial Muslim Bela Islam – Kafir Munafiqun. Sebagian distorsi, menjadikan bergesernya identitas sosial double minoryty paslon no.2 (pertahana) menjadi sedikit kabur dan menjadikan paslon no.1 terkena imbasnya. Dari “paslon no.1 adalah pemimpin muslim Bela Islam” menjadi “paslon no.1 adalah anak dari Presiden ke-6 dan Ketum partai Demokrat”, yang akhirnya membentuk opini si paslon no.1 adalah calon Gubernur yang muda tetapi belum dewasa, yang selalu didampingi orang tuanya. Tentu saja hal ini merugikan dirinya, suara golongan Muslim Bela Islam lebih condong menjatuhkan pilihannya ke paslon no.3, yang mungkin dianggap lebih representatif. Lalu, 17% suara pemilih paslon no.1 ini mewakili identitas sosial yang mana? yang pasti bukan murni mereka yang menggolongkan dirinya Muslim Bela Islam. Suara tersebut adalah suara partai pendukung, tim sukses dan simpatisan yang tidak secara tegas atau ketat mengidentifikasikan dirinya sebagai golongan Muslim Bela Islam.

Masalahnya, setelah 15 Februari 2017, akan kemanakah suara dukungan paslon no.1 menentukan pilihannya? yang pasti, identitas sosial Muslim Bela Islam sudah menentukan pilihannya. Begitu juga dengan golongan Kafir-Munafiqun. Lalu bagaimana politik identitas yang akan dibangun oleh paslon non-pertahana untuk merebut suara pendukung paslon no.1, dan apa respon atau strategi paslon pertahana? ngopi-ngopi dulu pek…tunggu opini berikutnya