Sekelumit “Berpikir Jaringan dan Jaringan Teroris”

Penularan ideologi perjuangan dan pembentukan lingkungan sosial

… Rahasia utama dari prinsip jaringan adalah manusia biasanya hanya peduli dan tahu pasti kepada siapa dia berhubungan langsung (alter), tetapi tidak peduli dengan siapa saja para alternya membina hubungan sosial. Oleh karena itu, dalam sebuah jaringan sosial, meskipun mereka saling berhubungan satu sama lain (hubungan tak langsung melalui para alternya) sering kali tidak mengenal satu sama lain dan belum tentu mereka merasa (secara sadar) sebagai anggota dari jaringan sosial yang sama. Ini pula sistem yang digunakan untuk merekrut para eksekutor peledakan bom bunuh diri dan para perantara.

Orang-orang yang direkrut sebagai eksekutor dan perantara tidak termasuk atau bukan anggota jaringan sosial teroris. Oleh karena itu, merekalah yang paling mudah dideteksi atau dilacak. Mereka tidak mengenal para anggota jaringan teroris sesungguhnya. Prinsip jaringan inilah yang menyelamatkan mereka dari pelacakan “lawan” (satuan antiteror), baik dari sisi keanggotaannya maupun rencana-rencana aksi teror mereka.

Berpikir Jaringan juga berguna untuk menyebarkan “ideologi perjuangan” mereka. Semakin lama semakin banyak warga (aktor) yang tanpa sadar telah mengadopsi “ideologi perjuangan” mereka sehingga semakin berhasil pula mereka membentuk lingkungan sosial yang se-”ideologi”. Jaringan telah mengubah aktor-aktor (dalam artian mengadopsi kebiasaan atau mengembangkan sebuah sikap) – seperti formasi sikap sosial, pengaruh sosial, serta peluang – homogenisasi dalam sikap, keyakinan dan praktik-praktiknya.

Hal ini memudahkan aktivitas perjuangan, selain juga sebagai “tempat” persembunyian yang aman – karena lingkungan sosial yang seideologi tentu akan menjaga dan memelihara mereka. Oleh karena itu, mereka sangat sulit ditemukan.

Berikutnya adalah akses, yaitu akses informasi untuk menentukan target-target dari aksi teror bom bunuh diri (melalui perantara-perantara yang diciptakannya), seperti informasi tentang aktivitas apa yang akan dilakukan oleh para pejabat dari pihak musuh, siapa saja yang terlibat dalam aktivitas tersebut, di mana dan kapan aktivitas tersebut harus dilaksanakan. Mereka sudah menyebarkan “aktor-aktor perantara” ke dalam berbagai lingkungan sosial (melalui penularan ideologi perjuangan dan pembentukan lingkungan sosial). Setelah mereka dapatkan dan ditentukan targetnya maka selanjutnya tinggal merekrut para eksekutor untuk mengeksekusinya…

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

PESONA KECEPATAN DI ERA DIGITAL

Waktu tak pernah berjalan lebih cepat atau lebih cepat. Ia selalu setia pada langkahnya yang konstan. Berbeda dengan kecepatan sosial, waktu bisa berjalan lamban, cepat atau bahkan berhenti. Ketika kita sedang dihadapkan pada banyak pekerjaan yang mempunyai deadline pada tanggal yang sama. Maka, ketika kita sedang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan tsb, kita akan merasa waktu (jarum jam) seolah-olah bergerak begitu cepat – apalagi saat mendekati waktu deadline. Sebaliknya, waktu terasa bergerak amat lamban ketika kita sedang menunggu tibanya tanggal gajian bulanan.

Demikian halnya dengan kecepatan gerak kehidupan di era digital saat ini. Kita menjadi gugup dan gagap terhadap kecepatan gerak kehidupan tsb. Padahal, sejatinya waktu selalu bergerak konstan – tak pernah ia bergerak lebih cepat atau lebih lambat. Lain halnya dengan kecepatan waktu sosial. Ibarat ketika kita berkendara (motor) di Jakarta yang macet dengan kecepatan 60 km/jam maka akan terasa bergerak atau melesat seperti setan dan dengan kecepatan yang sama akan terasa lamban di jalan TOL (bebas hambatan) yang sepi. Demikian juga ketika kita naik kereta api, memandang keluar dari jendela akan terasa bahwa kereta api yang kita tumpangi bergerak sangat cepat melihat pohon, rumah, kendaraan di jalan raya yang terlintasi dengan sangat cepat. Tetapi berbeda ketika kita naik pesawat udara, yang pastinya secara obyektif lebih cepat dari kecepatan kereta api, tetapi saat kita memandang jendela tampak lautan awan dan kita merasa bahwa pesawat udara tersebut seperti bergerak sangat lamban dan bahkan terkadang serasa tidak bergerak. Demikian juga masalah gerak dan kecepatan – the runaway world – di era digital.

Pesona kecepatan di era digital ini memang luar biasa, ruang atau jarak seolah-olah hilang karena termampatkan sedemikian rupa. Padahal, ruang atau jarak tak pernah hilang. Di era digital ini ibarat kita menonton rekaman video jalan raya di mana mobil lalu-lalang di sana, ketika kita percepat kecepatan putar video player misalnya menjadi 100 kali, 1.000 kali atau 10.000 kali dst, kita akan menyaksikan bahwa di jalan raya tersebut seolah-olah tidak ada mobil yang lalu-lalang. Semua entitas yang bergerak di sana seolah-olah lenyap.

Gerak adalah tanda kehidupan, begitu juga dengan gerak kehidupan di era digital. Kita memang tidak pernah menghirup udara yang sama, tidak pernah makan dan minum makanan-minuman yang sama selama kita hidup. Namun, bukan berarti tidak ada keteraturan dalam kehidupan sosial. Jam, hari, bulan akan selalu berulang meski bukan jam, hari dan bulan yang persis sama – tidak pernah berada pada waktu yang sama. Artinya, high speed tidaklah identik dengan disruptif, juga tidaklah sama dengan unpredictable. Oleh karena itu, yang terpenting adalah bagaimana kita mampu menangkap atau memahami keteraturan dibalik gerak kehidupan – baik di era digital atau pun sesudah era digital.

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

GERAK DAN KETERATURAN DI ERA DIGITAL

GERAK DAN KETERATURAN

DI ERA DIGITAL

Sejak temuan Milgram- six degrees separation– tahun1967, sesungguhnya sejak itulah revolusi kehidupan sosial sebenarnya telah dimulai. Namun, temuan tsb belum menghebohkan dunia pada saat itu. Banyak yang tak menyadarinya, meski Milgram telah menyatakan dengan tegas bahwa“meskipun jarak geografis dan sosial di antara siapapun (dua orang) itu jauh, sesungguhnya mereka dekat dalam hubungan sosial.

Ketika temuan Milgram ini di terapkan ke dalam teknologi komunikasi berbasis internet (melengkapi telpon dan postal sebagai sistem yang tersedia) maka sejak saat itu pula fenomena small world telahdimulai. Sepasang hubungan – siapapun dan di manapun akan terhubung satu  sama lain maksimal dalam enam (6) rangkaian hubungan melalui internet. Dalam perjalanan waktu, kejadian di mana pun bisa disaksikan oleh siapapun dalam waktu bersamaan (real time). Kini, era Kesegeraan dan Keserempakan (termampatkannya ruang dan waktu menjadi sedemikian rupa- era digital) telah menjadi kenyataan (fenomena dunia mengecil) di mana dunia tak lagi sekedar bergerak, tetapi kini telah berlari (the runaway world).

Namun, tidak semua pihak siap untuk hidup di era yang “serba segera dan serempak”, sehingga banyak pihak memahaminya sebagai era distruptif – era tak menentu. Benarkah kita sedang berada di era tak menentu?

Di era serba “segera dan serempak” ini, ibarat kita sedang berada di dalam suatu ruangan dengan ribuan televisi (tv). Di mana semua tv “on” (hidup) dengan chanel yang berbeda-beda dari berbagai penjuru dunia – dengan bahasa dan program acara yang berbeda-beda…sangat hiruk-pikuk. Dalam situasi seperti ini, tentu saja membuat kita sulit menikmati program semua acara tv yang sedang berlangsung, apalagi untuk memahaminya. Lalu, apakah yang kita alami di ruangan tersebut, kemudian kita boleh menyimpulkan bahwa dunia sedang distruptif? Atau, dunia sedang berada pada situasi tak menentu? Atau sebaliknya bahwa kerangka berpikir kita yang yang sedang mengalami keterbatasan untuk memahami apa yang sedang terjadi?

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

Ekosistem Lahan Gambut:

Keberagaman Lingkungan Dan Pelestarian Pengetahuan (2013)

(Ruddy Agusyanto)

  1. Pendahuluan

Saat kita bercerita tentang lahan gambut, secara otomatis pikiran kita mengacu pada masalah emisi karbon atau deposit karbon. Selanjutnya, mengarah pada masalah pentingnya fungsi lahan gambut sebagai “paru-paru dunia”, yaitu menyangkut masalah pencegahan perubahan iklim atau pemanasan global yang merupakan ancaman bagi kehidupan manusia di bumi. Persoalannya, mengapa masalah pemanasan global ini dikategorikan sebagai “ancaman”? Sebab gejala ini tidak dapat dihentikan; hanya dapat dikurangi dengan menurunkan tingkat emisi “gas rumah kaca” (GRK). Mengapa demikian?

Gambut merupakan sumber energi. Sebagai contoh, gambut adalah bahan akar penting di negara negara dimana pohon langka seperti Irlandia dan Skotlandia, di mana secara tradisional gambut digunakan untuk memasak dan pemanas rumah tangga di sana (suhu udara daerah iklim empat musim). Secara modern, gambut dipanen dalam skala industri dan dipakai untuk bahan bakar pembangkit listrik. Pembangkit listrik tenaga gambut terbesar ada di Finlandia (Toppila Power Station) sebesar 190 MW, (http://www.industcards.com/st-other-finland.htm). Tak hanya itu, secara langsung mau pun tak langsung, ada berbagai kepentingan lainnya dalam kehidupan manusia atas lahan gambut, sehingga semakin hari terus terjadi penyusutan lahan gambut.

Konsekuensinya, ada dilematika menyangkut persoalan “pengelolaan” lahan gambut. Di satu sisi, gambut memang memiliki potensi tinggi sebagai penyimpan karbon dalam konteks mengatasi perubahan iklim, tetapi sekaligus di sisi lain memiliki potensi ekonomi sebagai sumber energi, area perkebunan karena merupakan lahan yang subur dan reservoir air; dan atau pertambangan karena kandungan mineral di lapisan bawah/dalam tanahnya. Oleh karenanya, upaya untuk memperlambat atau menge-“rem” laju emisi GRK, sudah seharusnya menjadi salah satu pilihan penting sebagai sebuah gerakan untuk memperlambat gejala pemanasan global. Oleh karena itu pula, masalah pengelolaan lahan gambut ini menjadi perhatian serius dunia[1].

Sementara itu, pada kenyataan yang lain, negara-negara “maju” (non-tropis) yang perekonomiannya tergantung dari sektor energi dan tidak lagi memiliki sumberdaya alam sebagai bentuk timbunan karbon – yang memang secara alami, relatif langka dibandingkan wilayah tropis – sehingga tidak dapat berbuat banyak untuk menge-“rem” laju emisi GRK. Untuk itu mereka berupaya mendesak negara-negara “berkembang” (dalam konteks ini, mungkin lebih tepat jika disebut sebagai Negara-negara tropis yang memang secara memiliki kekayaan “paru-paru dunia” – seperti Indonesia) dengan sumberdaya alamnya agar supaya sebanyak mungkin menimbun karbon dengan mempertahankan sumberdaya alam tersebut. Sikap atau desakan ini sepertinya ada “ketidakadilan”, sebab sebagian besar alih fungsi lahan gambut (juga “paru-paru” yang lain seperti hutan) di Negara-negara tropis (yang mereka sebut dengan “Negara berkembang”) itu sendiri adalah akibat dari “eksploitasi” para pemilik modal – yang secara langsung maupun tak langsung – sebagian besar berasal dari Negara-negara nontropis (“Negara-negara maju”). Masyarakat lokal/native (tropis), jelas tak mungkin melakukan alih-fungsi lahan secara besar-besaran dalam kurun waktu yang singkat, selain bertolakbelakang dengan “prinsip hidup” (budaya subsisten atau “secukupnya”), juga memang bukan merupakan “kebutuhan hidup” mereka. Kebutuhan masyarakat lokal seperti kebutuhan akan kayu bakar umumnya mengambil dari ranting-ranting yang sudah jatuh ke tanah, membuka ladang/kebun hanya dalam skala rumah tangga dan biasanya tetap berpegang pada prinsip “etno-konservasi”, kebutuhan kayu untuk membuat rumah secara berkala (5 s/d 10 tahun) dalam jumlah m3 yang sangat kecil dst. Dengan demikian, upaya untuk mengurangi tingkat emisi GRK tsb, jelas tidak harus menjadi tanggung jawab pihak atau negara tertentu saja yang masih banyak memiliki lahan gambut (tanggung jawab Negara-negara tropis seperti Indonesia yang memiliki 67% lahan gambut dari lahan gambut seluruh dunia[2]). Demi keadilan dan kepentingan bersama umat manusia maka hal ini harus menjadi tanggungjawab seluruh negara di dunia, yang juga harus secara global melakukan aksi (bersama dan serentak, serta holistik) mengatasi permasalahan ini.

Kembali pada masalah lahan gambut, sebenarnya tak hanya terkait dengan masalah pemanasan global atau penurunan emisi GRK semata. Ada sisi lain yang tak kalah pentingnya selain masalah pemanasan global, yang jarang sekali disinggung dalam pembahasan ekosistem gambut ini. Ekosistem gambut dikenal “unik” dan “multitalenta” (meminjam istilah litbang deptan) sebab mempunyai keberagaman hayati yang sangat tinggi dan fungsi hidrologi. Untuk itu, dalam tulisan ini, saya justru ingin menyoroti masalah keunikan dan ke-multitalenta-an dari ekosistem gambut, dalam kaitannya dengan keberagaman pengetahuan masyarakat lokal yang secara turun-temurun tinggal dan hidup di sana (mungkin sudah ratusan, bahkan ribuan tahun); selain itu, masalah ini juga berkorelasi dengan masalah gerakan mengatasi pemanasan global atau upaya menge’rem” laju emisi GRK – sebab hal ini merupakan satu kesatuan gejala yang tak terpisahkan dan saling mempengaruhi satu sama lain.

  1. Keberagaman Lingkungan Dan Keberagaman Pengetahuan

Man has, in all circumstances, tried to adapt his environments. He has always managed to procure food from the surrounding resources and developed as adequate knowledge about the resources as well as the technical means to exploit them for his survival. Quite often he had to compare with other wild animals for food but he learned how to live in a symbiotic relationship with other competitors and the resources in varied environments. (Khatry, 1984).

Bicara masalah keberagaman lingkungan, sudah tidak disangsikan lagi bahwa daerah tropis mempunyai keberagaman biotik dan abiotik yang luar biasa, seperti apa yang disampaikan oleh Kottak:

However, environmental differences did create substantial contrasts among the world’s foragers. Some, such as the people who lived in Europe during the ice ages, were big-game hunters. Today, hunters in the Arctic still focus on large animals and herd animals; they have much less vegetation and variety in their diets than do tropical foragers. In general, as one moves from colder to warmer areas, there is an increase in the number of speciesThe tropics contain tremendous biodiversity, a great variety of plant and animal species, many of which have been used by human foragers. Tropical foragers typically hunt and gather a wide range of plant and animal life” (Kottak, 2011, hal. 157).

Berdasarkan hal ini, maka Indonesia yang terletak di daerah tropis, secara tak langsung, tentu merupakan daerah yang mempunyai keberagaman biotik (hayati) dan abiotik yang sangat tinggi – apalagi di ekosistem gambutnya. Oleh karenanya, bisa dikatakan bahwa akan berbeda pula derajat keberagaman biotik (hayati) dan abiotiknya antara ekosistem gambut wilayah tropis dan nontropis. Beragam flora ada di sana (ekosistem gambut Kalimantan tengah), seperti Jelutung (dyera lowii), belangeran (sorea belangeran), pulai (alstonia angustifolia), ulin, dan bermacam-macam anggrek. Ada juga jenis tanaman obat, seperti akar kuning (arcangelisia flava), agatis, bajakan kelawet, pelawan merah, daun seribu, gelam tikus, suli, akar kelamis, teras nyating dan lain-lain. Demikian juga dengan faunanya, ada orangutan, beruk, kelasi, bekantan, owa, kera ekor panjang, beruang madu, kancil, macan dahan, kucing hutan, musang pohon, tarsius, berbagai jenis burung enggang, kupu-kupu, bangau hutan rawa, elang hitam dan lain-lain.

Merujuk pada hubungan antara keberagaman lingkungan (biotik dan abiotik) dengan keberagaman pengetahuan (seperti yang disampaikan oleh Khatry, 1984), maka sudah seharusnya keberagaman pengetahuan mereka yang hidup dan tinggal di sana juga mencerminkan keberagaman pengetahuan sesuai dengan keberagaman lingkungan hidupnya, sebab mereka akan membangun pedoman-pedoman hidupnya dari apa yang ada dan tersedia di lingkungan hidupnya. Demikian halnya dengan mereka yang hidup dan tinggal di daerah gambut, yang memiliki keberagaman biotik/hayati dan abiotik yang sangat tinggi.

Penduduk asli di lingkungan gambut Kalimantan Tengah seperti Dayak Ngaju, Dayak Katingan, Dayak Kahayan dan Dayak lainnya banyak belajar dari lingkungan biotik dan abiotik di mana mereka hidup dan tinggal. Mereka belajar dari orangutan dan hewan-hewan lainnya. Jenis pangan yang menjadi favorit orangutan umumnya bisa dan sangat baik (tidak beracun) dan sebagai sumber energi manusia. Ketika orangutan sedang sakit, makanan dan minuman – jenis tumbuhan atau jenis cairan apa – yang dikonsumsinya sehingga orangutan sembuh, maka apa yang dikonsumsi oleh orangutan tsb yang akan dikonsumsi pula oleh orang Dayak; dan dicatatnya sebagai tumbuhan obat; atau lebih jauh, membuat ramuan-ramuan dari kombinasi variasi tumbuhan obat untuk berbagai jenis penyakit dan untuk kesehatan (temuan-temuan). Demikian sebaliknya, jika orangutan mengkonsumsi sesuatu dan menjadi tidak sehat atau sakit – keracunan misalnya – maka hal ini juga menjadi bagian pengetahuan orang Dayak – ilmu racun. Termasuk, belajar bagaimana memperbanyak produksi air susu untuk bayinya, seperti jenis daun pohon katup. Atau, bagaimana belajar tentang menjarangkan kelahiran. Sebelum seorang anak orangutan dilepas dari gendongan ibunya, maka biasanya sang ibu tak akan melahirkan anak (kalau orangutan biasanya 6-7 tahun baru melahirkan kembali. Sebelum anaknya mampu mandiri atau bisa mengenal dan mencari makanan sendiri maka orang utan betina tidak akan bersedia digauli oleh sang jantan. Biasanya sang jantan juga tak memaksa karena semua betina di area/radius kekuasaannya – yaitu sekitar radius dua km2 – tidak bisa menolak untuk digaulinya.

Tak hanya belajar dari orang utan, orang Dayak juga belajar dari perilaku hewan-hewan lainnya – seperti bagaimana mereka menangkap dan menjebak hewan buruan; atau bagaimana berbagai jenis hewan mampu mempertahankan dirinya dari kelompok predator, sebagai pengetahuan untuk menghindari bahaya atau ancaman.

Selain itu, orang Dayak juga belajar tentang bagaimana agar sumber pangannya yang ada di lingkungannya tetap tersedia. Mereka banyak belajar dari orangutan, bagaimana orang utan selalu menebar biji-bijian dari buah-buahan yang dimakannya sepanjang kegiatan yang dilakukannya (orangutan selalu makan disaat ia berjalan/bepergian). Oleh karenanya, orang utan dijuluki sebagai “petani hutan”. Bahkan saat ini, konservasi orangutan tak hanya bertujuan untuk melestarikan eksistensi orangutan, tetapi lebih kepada kelestarian keberagaman flora dan fauna hutan – “orang utan sebagai payung hutan”, sebab 1 – 10 orangutan akan melindungi: 5 jenis burung rangkong; 50 jenis pohon buah-buahan dan; 15 jenis pohon lainnya. Dengan mempelajari dan memahami karakter dan life cycle berbagai jenis flora dan fauna berikut lingkungan abiotiknya, manusia mampu merumuskan “etno-konservasi” –  seperti konsep “sasi” yang banyak dikenal di masyarakat Indonesia bagian Timur; atau “Nyepi” seperti pada masyarakat Bali.

Kembali merujuk pada hubungan antara “manusia dan lingkungan hidupnya”, maka keberagaman lingkungan biotik dan abiotik di mana manusia hidup dan tinggal ini tentunya pula akan mendorong manusia yang hidup dan tinggal di sana untuk berusaha memahami dan mampu memanfaatkan keberagaman lingkungan biotik dan abiotik di sekitarnya (pengetahuan kebudayaan). Oleh karena itu pula, lebih jauh, dapat disimpulkan bahwa daya dukung lingkungan (keberagaman dan ketersediannya) ini membuat masyarakat tropis pada jaman berburu-meramu mampu hidup subsisten.

People rely on available natural resources for their subsistence, rather than controlling the reproduction of plants and animals (Kottak, 2011).

Sayangnya, banyak ilmuwan sosial kurang tepat memahami kehidupan subsisten ini. Mereka memahaminya sebatas “kegiatan ekonomi” atau sebagai bagian dari kategori “mata pencaharian”. Jelas bahwa pola hidup subsiten adalah way of life – bukan bagian dari sistem mata pencaharian hidup atau sebuah kegiatan ekonomi. Ketika banyak ilmuwan atau peneliti mempelajari masyarakat-masyarakat yang mempunyai daya dukung lingkungan memadai (seperti kehidupan di daerah-daerah tropis), akhirnya banyak ahli – salah satunya Kottak – berpendapat sedikit berbeda bahwa:

In many areas, foragers had been exposed to the “idea” of food production but never adopted it because their own economies provided a perfectly adequate and nutritious diet—with a lot less work (Kottak, 2011).

Lambat laun, akhirnya banyak ahli menyatakan bahwa “semakin subsisten sebuah masyarakat maka semakin egaliter[2]. Artnya, lingkungan alam tropis memiliki “daya dukung” yang sangat memadai (gudang pangan atau energi) sehingga mereka yang hidup di sana mampu menerapkan pola hidup subsisten. Maka dari itu, tidaklah mengherankan bahwa kehidupan masyarakat tropis dominan diwarnai oleh prinsip hidup kerjasama, dibanding prinsip hidup persaingan – sebagai akibat dari daya dukung lingkungan hidupnya yang sangat memadai (lihat Agusyanto, dalam Budaya Sontoloyo: Tropis Adalah Awal Dan Pusat Peradaban, 2013). Tapi kembali lagi, oleh karena informasi tersebut belum menyebar luas dan belum mampu mengubah “keyakinan” banyak ilmuwan atau lingkungan akademis (karena juga banyak kepentingan politis) – terutama para ahli ilmu ekonomi –  sehingga mereka tetap memahami pola hidup subsisten sebagai sebuah kegiatan ekonomi atau bagian dari sistem produksi. Akibatnya, masyarakat subsisten sering dilebel sebagai “pemalas” karena prinsip hidup yang dijalaninya, padahal hakekat dari tujuan program-program ekonomi tsb adalah untuk mencapai “kesejahteraan atau kemakmuran”. Artinya, masyarakat subsisten ini bukanlah “target” dari program-program pembangunan tsb, sebab dengan daya dukung lingkungan yang memadai, mereka sebenarnya sudah hidup sejahtera atau makmur. Bahkan tak jarang, program-program tsb justru mengakibatkan masyarakat yang tadinya mampu hidup subsisten, kini menjadi tak mampu hidup mandiri.

Kembali kepada masalah hubungan antara “keberagaman lingkungan hidup dan keberagaman pengetahuan kebudayaan”, maka Indonesia sebagai sebuah wilayah geografi yang beriklim tropis (yang mempunyai biodiversity dan keberagaman lingkungan abiotik yang luar biasa), tentunya akan memiliki diversitas atau keberagaman pengetahuan (pedoman hidup) yang juga luar biasa, sesuai atau sekaya keberagaman lingkungan hidupnya.

Man has, in all circumstances, tried to adapt his environments. He has always managed to procure food from the surrounding resources and developed as adequate knowledge about the resources as well as the technical means to exploit them for his survival. Quite often he had to compare with other wild animals for food but he learned how to live in a symbiotic relationship with other competitors and the resources in varied environments.

… in all regions wherever they lived the significant features of their way of life and the physical environment which they lived in is fundamentally the same. That is, there exist close relationship between man and surrounding; man always tries to maintain balance between his need and the capacity of the resource.

… a new relation between man and the plants was formed as man changed the natural environment into cultural landscape (Khatry, 1984).

Demikian juga dengan Geertz, ia mengatakan Kondisi geografis dan geologis serta tersedianya sumber-sumber bahan  untuk keperluan pertanian menyebabkan pertanian sudah dikenal di Indonesia sejak masa sebelum Masehi (Geertz, 1983: 38).

Berdasarkan beberapa pernyataan para ahli di atas, maka tidaklah keliru jika kebudayaan tropis mengenal hampir 200 kategori umbi-umbian atau mempunyai beragam kategori makanan olahan yang berasal dari umbi-umbian seperti getuk, kue talam, lupis, gemblong, kolak, timus, ongol-ongol, lemet, dan sebagainya; atau kategori makanan olahan dari padi (nasi goreng, timbel, karak, bubur dan sebagainya). Sebaliknya, kebudayaan Eskimo mengenal beragam jenis es, warna putih, atau hal-hal yang berkaitan dengan cuaca ekstrim dingin. Artinya, kita tidak akan pernah mengembangkan pengetahuan apapun teknologi/penciptaan suatu alat yang kita butuhkan – yang ada unsur bambunya – jika sepanjang hidup, kita tidak pernah melihat pohon bambu”. Oleh karena itu, revolusi industri sejatinya bukanlah akibat “perkembangan ilmu pengetahuan” sebagai faktor utama, tetapi “bahan baku industri atau sumberdaya alam” (lingkungan di mana kita hidup dan tinggal – pengalaman hidup atas lingkungan – biotik, abiotik dan sosial-budaya). Ini pula yang menjelaskan mengapa revolusi industri dipelopori oleh Inggris – bukan oleh Perancis – sebab Inggris saat itu mempunyai wilayah jajahan hampir 100 wilayah yang kaya akan sumberdaya alam.

  1. Manusia Dan Adaptasi Budaya

Berdasarkan hubungan antara keberagaman lingkungan dan pengetahuan, maka tak bisa dipungkiri bahwa manusia beradaptasi secara sosial-budaya untuk memelihara dan menjaga kelangsungan hidupnya. Oleh karena itu, umat manusia tetap eksis (tidak punah) hingga hari ini. Manusia Eskimo tidak berupaya menebalkan kulit atau menumbuhkan rambut yang lebat agar mampu mempertahankan kehidupannya di sana, tetapi berupaya menemukan api, membuat rumah dari bongkahan es (iglo), atau membuat baju dari kulit binatang (binatang yang hidup di sana umumnya mempunyai kulit yang tebal atau yang berbulu lebat). Manusia berbeda dengan organisma atau mahkluk hidup lainnya, seperti flora dan fauna yang berdaptasi secara biologi. Oleh karena itu pula sudah banyak jenis flora dan fauna yang punah pada hari ini.

Demikian halnya dengan masyarakat yang hidup dan tinggal di daerah atau ekosistem gambut seperti masyarakat sukubangsa Dayak; bagaimana orang Dayak menginterpretasi dan belajar memahami lingkungannya, serta mengorganisasikan kehidupan sosialnya dalam menjalani kehidupannya tersebut (tak ubahnya seperti masyarakat Eskimo atau masyarakat lainnya). Kenyataan ini menunjukkan bahwa dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidupnya, manusia mengembangkan pola-pola perilaku (pedoman-pedoman), yaitu:

  • Bagaimana memahami dan memanfaatkan lingkungannya (baik lingkungan biotik dan abiotik) – bagaimana memperoleh dan menentukan jenis makanan, cara mengelola, cara makan, menghindari ancaman dan seterusnya;
  • Bagaimana agar sumber pangan/energi itu selalu cukup tersedia sehingga manusia mempunyai jaminan atas kelangsungan hidupnya ke depan (etnokonservasi[3]).

Dengan kata lain, pedoman-pedoman hidup tsb adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup dan memecahkan masalah-masalah kehidupan yang dihadapi (pedoman hidup yang operasional) agar dapat menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidupnya. Pedoman-pedoman hidup ini dalam disiplin Antropologi dinamakan kebudayaan (manusia sebagai mahkluk budaya).

Berdasarkan hal ini, maka manusia – mau tidak mau, secara langsung atau tak langsung – dituntut harus memahami lingkungannya di mana sumber-sumber “kebutuhan hidupnya” itu tersedia. Namun, lingkungannya pun – binatang dan tumbuh-tumbuhan juga mempertahankan kelangsungan hidupnya, dalam arti harus makan dan minum serta bereproduksi juga seperti manusia. Demikian halnya dengan lingkungan abiotik, ulah manusia dalam rangka menjalani kehidupannya, mempengaruhi lingkungan abiotik; dan sebaliknya lingkungan abiotik akan bereaksi atas ulah manusia) sehingga lingkungan di mana manusia hidup juga dinamis (selalu mengalami perubahan). Artinya, manusia dituntut harus mampu beradaptasi dengan lingkungan di mana mereka hidup, yang juga selalu dinamis. Singkatnya, adaptasi yang diperlukan adalah mengacu pada proses interaksi antara perubahan-perubahan yang ditimbulkan oleh organisma pada lingkungannya dan perubahan-perubahan yang ditimbulkan oleh lingkungan pada organisma (termasuk perubahan yang ditimbulkan oleh organisma pada organisma lain) – yang saling mempengaruhi secara timbal-balik. Kerangka pikir atau perspektif “adaptasi timbal-balik” yang dinamis seperti inilah yang diperlukan agar manusia mampu bertahan hidup atau menjaga keberlangsungan hidup pribadi dan “kelompok”nya. Oleh karena itu, kebudayaan atau pedoman-pedoman hidup juga harus adaptif, yaitu selalu sesuai dengan lingkungan alam/abiotik dan biotik (ekosistem) serta lingkungan sosial di mana mereka hidup dan tinggal, sehingga peluang untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya menjadi lebih besar. Termasuk, juga dituntut untuk memikirkan “bagaimana agar sumber pangan itu selalu cukup tersedia dan seterusnya” sehingga manusia mempunyai jaminan atas kelangsungan hidupnya ke depan atau “sepanjang waktu”.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kebudayaan adalah hal yang mendasar bagi kelangsungan hidup umat manusia – baik kelangsungan hidup pribadi maupun kolektif. Artinya, kebudayaan selalu dituntut harus mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan mendasar dan mampu memecahkan masalah-masalah kehidupan para pendukungnya. Oleh sebab itu, kebudayaan itu sendiri – mau tak mau – harus mampu bertahan yaitu menjaga kelestarian dirinya sendiri, sehingga kebudayaan tersebut oleh masyarakat pendukungnya harus:

  1. Selalu dikembangkan agar tetap adaptif terhadap lingkungan hidupnya (dalam hal ini, konsep “perubahan” menjadi penting). Oleh karena itu, dalam kebudayaan tidak ada yang derajatnya lebih tinggi atau lebih rendah dari kebudayaan yang lain. Kebudayaan Eropa Barat bukanlah tahap puncak dari evolusi kebudayaan seperti dalam teori evolusi Darwin. Demikian halnya dengan kebudayaan yang merasa lebih “kompleks” dari kebudayaan yang lain sebab “kekompleksan kebudayaan” tidak berarti menjadikannya lebih tinggi dari kebudayaan yang dianggapnya lebih “sederhana”. Sebagai contoh, ketika orang “modern” tersesat di hutan belantara maka kebudayaan “modernnya” tidak akan banyak manfaatnya sehingga ia membutuhkan kehadiran tim SAR sesegera mungkin; dan begitu juga sebaliknya.

 Contoh lain, konsep etno-konservasi hari raya “Nyepidi mana seluruh warga Bali dilarang menyalakan “api” (termasuk memasak dengan menggunakan api, tidak boleh menyalakan lampu), yang sudah dilakukan oleh masyarakat Bali sejak 1.934 tahun yang lalu. Sementara WWF menghimbau pada hari penyelamatan bumi untuk mematikan listrik satu jam[1] kepada dunia di tahun ini. Ini sungguh ironis, masyarakat Bali yang dianggap masyarakat “tradisional”, ternyata memiliki konsep etno-konservasi jauh “lebih modern” dari WWF (Agusyanto, 2013).

  • Disebarluaskan dan diwariskan melalui proses belajar (proses sosialisasi, internalisasi dan enkulturasi – tidak diturunkan secara genetik) agar bisa digunakan oleh masyarakat pendukungnya supaya tetap mampu menjaga kelangsungan hidup kolektifnya. Kebudayaan harus disebarkan atau diwariskan, baik secara horizontal mau pun secara vertical (dari generasi ke generasi) kepada seluruh anggotanya.

Dengan lestarinya kebudayaan (selalu adaptif dan dimiliki /dipergunakan sebagai pedoman hidup oleh masyarakatnya – karena terwariskan) maka secara tak langsung eksistensi masyarakat pendukung kebudayaan tersebut juga terjamin kelangsungan hidupnya. Untuk itulah masyarakat berkepentingan menjaga kelestarian kebudayaannya, dengan cara: (1) menyebar-luaskan atau mewariskan kepada seluruh anggota pendukung kebudayaan yang bersangkutan – dari generasi ke generasi; (2) dikembangkan sesuai dengan dinamika kehidupannya (dinamika kebutuhan dan ketersediaan sumberdayanya) sehingga kebudayaan tersebut tetap “operasional” untuk menjalani kehidupan. Dengan kata lain, jika kebudayaan tidak selalu dikembangkan untuk selalu adaptif dan tidak diwariskan (horizontal dan vertical) oleh para pendukung kebudayaan yang bersangkutan, atau jika mengalami gangguan atas dua proses tersebut maka mereka akan menghadapi resiko kepunahan.

  1. Penutup

Keberagaman biotik dan abiotik pada ekosistem gambut yang berkorelasi terhadap keberagaman pengetahuan atau pedoman-pedoman hidup masyarakat yang tinggal di sana, yang pada akhirnya, juga mendorong lahirnya pengetahuan-pengetahuan atau tentang fungsi-fungsi lainnya dari ekosistem gambut. Merujuk pada hal ini, maka “keunikan dan kemultitalentaan” dari ekosistem gambut dan masalah gerakan mengatasi pemanasan global atau upaya menge’rem” laju emisi GRK merupakan satu kesatuan gejala yang tak terpisahkan dan saling mempengaruhi satu sama lain. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa:

  • Jika ekosistem gambut terganggu maka keberagaman biotik dan abiotik juga akan terganggu, sehingga hal ini akan berdampak pada kelestarian beragam pengetahuan (warisan pengetahuan);
  • Jika beragam pengetahuan terganggu, maka beragam pengetahuan tsb semakin lama semakin tak terwariskan – secara horizontal maupun vertical (ke generasi berikutnya). Artinya, semakin lama beragam pengetahuan ini semakin berkurang, yang pada akhirnya akan punah, seiring dengan proses berkurangnya keberagaman lingkungan biotik dan abiotik yang ada. Saat ini sudah banyak generasi muda Dayak yang hanya pernah mendengar berbagai jenis biotik dan abiotik tetapi belum pernah melihatnya atau menemukannya di lingkungan di mana mereka tinggal, seperti akar kuning, berbagai jenis ikan dll, sehingga seiring waktu pula pengetahuan yang berkaitan dengan flora dan fauna tsb akan hilang dimakan waktu.
  • Sementara itu, dengan perubahan lingkungan yang terjadi, “pengetahuan” yang telah punah tsb seringkali belum ada penggantinya, sehingga hal ini akan mempengaruhi daya adaptasi mereka dalam mejalani kehidupannya. Seiring berjalannya waktu, daya dukung lingkungan mereka terus semakin berkurang seiring dengan kebijakan-kebijakan alih-fungsi lahan dan kepentingan para pendatang. Kondisi ini tak lagi memungkinkan mereka untuk hidup subsisten. Kini, mereka harus bersaing untuk menjaga dan mempertahankan kehidupannya. Dengan daya dukung lingkungan yang tak lagi memadai dan hilangnya beragam pengetahuan (pedoman-pedoman hidup), maka semakin lama mereka akan semakin termarginalkan dalam kehidupan sosial, sebab hilangnya beragam pengetahuan ini, pada akhirnya akan menurunkan “kemampuan adaptasi” atau “daya saing” mereka – apalagi untuk kemampuan hidup subsisten.
  • Di sisi yang lain, banyak pengetahuan-pengetahuan yang hilang tsb ternyata sangat berguna bagi kehidupan yang akan datang, seperti kasus rumah panggung. Pada tahun 1990-an seorang peneliti dari Jepang mempelajari rumah-rumah tradisional nusantara atau “rumah panggung” (dari Sabang hingga Merauke; dari Miangas hingga Rote). Tesis penelitian tsb dibangun dari kondisi: (1) Indonesia dan Jepang adalah sama-sama daerah rawan gempa bumi; (2) rumah tradisional Jepang selalu terbuat dari bahan-bahan yang ringan, dengan asumsi ketika terjadi gempa bumi, maka penghuni rumah ybs diharapkan bisa selamat meskipun rumah tsb roboh; sedangkan rumah-rumah tradisional Indonesia terbuat dari bahan-bahan yang berukuran besar dan berat meski merupakan daerah rawan gempa bumi. Mengapa bahan-bahan rumah tradisional Indonesia terbuat dari kayu-kayu yang besar dan berat; apakah mereka tidak memikirkan bahwa jika terjadi gempa bumi rumah mereka akan roboh dan menimpanya? Dengan kata lain, asumsi-asumsi dari tesis penelitian tsb adalah (1) asumsi dasar dari pembuatan rumah-rumah tradisional Indonesia adalah “tidak akan roboh ketika terjadi gempa bumi”; (2) pengetahuan atau teknologi apa yang menjadi kuncinya sehingga rumah tsb tidak roboh ketika terjadi gempa; dan  (3) seberapa besar kemampuan rumah tradisional tsb dalam menghadapi gempa. Jadi, tujuan dari penelitian ini adalah untuk menciptakan pengetahuan atau teknologi pembangunan “gedung bertingkat anti-gempa”. Ironisnya, hasil dari kajian tsb dibeli atau diterapkan oleh Indonesia untuk membangun gedung-gedung bertingkat anti-gempa, padahal untuk menciptakan pengetahuan dan teknologi tsb Jepang belajar dari etno-science rumah panggung Indonesia.

Saran:

  • Indonesia membutuhkan regulasi atau kebijakan untuk mencegah terjadi alih-fungsi lahan gambut. Hal ini membutuhkan kerjasama atau koordinasi semua instansi terkait (kehutanan, pertanian, ESDM, perumahan rakyat, lingkungan dll);
  • Membentuk tim kajian tentang “etno-science” – identifikasi, dokumentasi, pengkajian dan pengembangan untuk kepentingan masa depan;
  • Hasil kerja dari tim kajian di atas, sebaiknya dirumuskan sebagai bahan mata ajar di sekolah-sekolah (bagian dari kurikulum) demi kelestarian keberagaman pengetahuan (terwariskan dan selalu adaptif) untuk membangun Indonesia dan partisipasi aktif dalam membangun dunia.

Daftar Pustaka:

Agusyanto, Ruddy.

   2012   “Kelangsungan Hidup dan Teritori Sumberdaya”, dalam NKRI Dari Masa Ke Masa (Karsidi dkk., ed.). Bogor: Sains Press.

   2013   “Nusantara: Keberagaman Sumberdaya Kehidupan Dan Keberagaman Pengetahuan Kebudayaan”, Makalah Seminar “Sumbangan Peradaban Nusantara terhadap Peradaban Dunia Masa Depan”, pada tangal 5 Desember 2013, dalam acara Festival Agung Keraton se-Dunia.

   2013   BUDAYA SONTOLOYO: Matahari Itu Berkah Atau Kutukan? Tropis Adalah Awal Dan Pusat Peradaban. Jakarta: Institut Antropologi Indonesia.

Anjarwati, Elfrida.

   2009   Early Man Civilization in Sangiran Dome (Kehidupan Manusia Purba di Kubah Sangiran). Sragen: Pemerintah Kabupaten Sragen.

Cohen, M N.

   1977   The Food Crisis in Prehistory: Over-populatios and the Origin of Agriculture. New Havens: Yale University Press.

Darwanto, Dwidjono H.

   2005   “Ketahanan Pangan Berbasis Produksi Dan Kesejahteraan Petani” dalam Ilmu Pertanian Vol. 12 No.2, 2005 : 152-164.

Geertz, Clifford.

   1983   Involusi Pertanian, Proses Perubahan Ekologi di Indonesia. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.

Griffin, Donald R.

   1965   Bird Migration: The Biology And Physics Of Orientation Behaviour (Science Study Series; No.32). Hanover Street Portsmouth, NH: Heinemann.

Haviland, William A.

   1988   Antropologi, jilid 1 dan 2 (terj.). Jakarta: Penerbit Erlangga.

Hobbes, Thomas.

   1994   Leviathan, ed Edwin Curley (Hackett, Indianapolis).

Khatry, Prem K (1984) From Hunting-Gathering to Food Production: A Brief Look on Impact of Early Man’s Shift to Farming dalam Himalaya.sosanth.com.oc.uk/collection/journal/ancientnepal/pdf/ancient_nepal_84_02.pdf

Kottak, Conrad Philip.

   2011   Cultural Anthropology: Appreciating Cultural Diversity (International Edition). Michigan, USA: McGraw-Hill, Inc.

http://id.wikipedia.org/wiki/Gambut

http://kalimantankita.blogspot.com/2009/12/pemanfaatan-dan-pengelolaan-lahan.html


[1] masalah perubahan iklim – pemanasan global – diangkat dalam forum internasional pada tahun 1992, yaitu pada saat diselenggarakan KTT Bumi di Rio de Janeiro, Brazil.

[2] Luas lahan gambut dunia yang berkisar 38 juta ha terdapat lebih 50% berada di Indonesia. Lahan gambut di Indonesia diperkirakan seluas 25.6 juta ha, tersebar di Pulau Sumatera 8.9 juta ha (34.8%), Pulau Kalimantan 5.8 juta ha (22.7%) dan Pulau Irian 10.9 juta ha (42.6%). Di wilayah Sumatera, sebagian besar gambut berada di pantai Timur, sedangkan di Kalimantan ada di Provinsi Kalimantan Barat, Tengah dan Selatan (Driessen et al, 1974, dalam Setiadi, 1995), dalam http://kalimantankita.blogspot.com/2009/12/pemanfaatan-dan-pengelolaan-lahan.html).

[3] Kebudayaan bisa didefinisikan sebagai pedoman hidup yang berisi pedoman-pedoman tentang konsep-konsep atau teori-teori (etnoscience) tentang:

  1. Lingkungan biotik-abiotik dan hubungan manusia dengan lingkungan biotik-abiotik;
  2. Manusia; dan hubungan manusia dengan manusia lain;
  3. Pencipta atau kehidupan; dan hubungan manusia dengan Pencipta (Tuhan), yang menciptakan lingkungan biotik-abiotik dan manusia.

(Agusyanto, “Nusantara: Keberagaman Sumberdaya Kehidupan Dan Keberagaman Pengetahuan Kebudayaan”, Makalah Seminar “Sumbangan Peradaban Nusantara terhadap Peradaban Dunia Masa Depan”, pada tangal 5 Desember 2013, dalam acara Festival Agung Keraton se-Dunia).

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

KACAMATA BERPIKIR JARINGAN

KACAMATA BERPIKIR JARINGAN

Keindahan seni anamorphic (teknik karya seni yang membuat obyek terlihat berdimensi sehingga menjadi subyek yang hidup). Karya seni yang awalnya terlihat seperti kumpulan benda yang tidak jelas itu baru bisa dipahami bila dilihat dari sudut pandang yang tepat. Salah satunya adalah karya sederetan tiang vertikal yang disusun sedemikian rupa untuk menggambarkan wajah seorang pemimpin terkenal. Demikian juga, kumpulan kabel kusut yang dibentuk menyerupai seekor gajah. Karya seni anamorphic lainnya yang dibentuk dari ratusan titik hitam yang tergantung oleh kawat-kawat menjadi sebuah mata seorang wanita bila dilihat dengan sudut pandang yang pas (sesuai). Begitu juga dengan berbagai entitas yang ada dalam keseharian hidup kita, yang kemudian kita rangkai sedemikian rupa sehingga membentuk wajah (struktur) kehidupan sosial. Semua itu, kuncinya adalah melihat dari berbagai sudut pandang yang berbeda (holistik, emik dan relativisme) – hingga kita mampu merangkainya dan akhirnya kita menemukan makna (keteraturan) yang tersembunyi di balik serangkaian fakta yang berserakan tersebut.

Dengan fakta yang berjumlah jutaan atau tak terhingga di sekitar kehidupan kita yang sesungguhnya mempunyai banyak makna (bercerita tentang banyak kisah), yang seringkali kita sulit memahami keteraturan-keteraturan tersembunyi di balik sejumlah fakta yang jumlahnya tak terhingga tersebut. Kita hanya perlu sudut pandang yang tepat untuk memahami berbagai kisah dari fakta-fakta yang berserakan di sekitar kehidupan kita. Bagaimana kita mampu merangkainya (sebagai satu kesatuan) dengan sudut pandang yang tepat adalah kuncinya – ibarat seniman anamorphic menghasilkan karya seninya.

Qpam

29 September 2020

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

MANUSIA BUKAN SEKEDAR MAKHLUK BIOLOGI – PANDEMIK COVID19

MANUSIA BUKAN SEKEDAR MAKHLUK BIOLOGI

Sehubungan dengan respons dari berbagai komponen masyarakat yang beranekaragam atas kebijakan PSBB – mulai dari respons atas PSBB yang akan diberlakukan di suatu kabupaten/kota/propinsi, perpanjangan masa PSBB beberapa propinsi, hingga pelarangan tradisi mudik lebaran. Ada yang mendukung kebijakan tersebut tapi ada yang tidak setuju, dengan alasannya masing-masing, bahkan juga terjadi pembangkangan sosial. Masing-masing alasan tersebut juga menggambarkan “kepanikan” yang berbeda-beda. Kepanikan pebisnis akan berbeda dengan kepanikan para pekerja, kepanikan pekerja tetap akan berbeda dengan kepanikan pekerja tidak tetap…dst. Hal ini juga menandakan bahwa penerapan kebijakan PSBB tersebut mempunyai konsekuensi yang berbeda-beda. Oleh karena itu, tulisan ini tidak bermaksud untuk membahas tentang setuju atau tidak setuju atas kebijakan PSBB juga atas kebijakan larangan mudik. Tapi mencoba melihat manusia dari lebih banyak sisi terkait dengan kebijakan PSBB.

Selama ini kebijakan PSBB mengaburkan antara pengaturan atau pembatasan antara “jarak fisik interaksi” dengan “tempat atau ruang interaksi sosial”. Sebab, kebijakan tersebut tidak berdasarkan (fokus) pada inti permasalahan, yaitu “pencegahan penularan” (menghentikan penularan baru) sehingga tampak lebih mengutamakan “ruang interaksi” ketimbang “pencegahan penularan” itu sendiri, yaitu mencegah berpindahnya covid-19 dari seseorang ke orang lain – mencegah keluarnya covid-19 (droplet) dari mulut atau hidung seseorang.

Baik WFH maupun PSBB hanya fokus kepada “ruang interaksi” dan tidak bicara soal “jarak fisik interaksi”, apalagi tentang bagaimana covid-19 bisa berpindah dari satu orang ke orang yang lain. Misalnya, WFH – interaksi sosial di luar rumah dibatasi atau dilarang tapi interaksi fisik di dalam rumah diperbolehkan (bahkan dianjurkan) meski tanpa “masker” dan “jaga jarak fisik interaksi”. Lalu, bagaimana jika ada salah satu anggota keluarga (satu rumah) yang positif tapi tidak menunjukan gejala (carrier)? Bukankah justru membawa covid-19 ke dalam rumah? Atau, oleh karena belum terbiasa memakai masker saat berada di luar rumah sehingga mempunyai kemungkinan tertular saat di luar rumah tapi tidak menunjukan gejala sakit (carrier). Dengan adanya himbauan untuk “tetap dirumah” (dan PSBB), maka himbauan ini bukankah justru bisa berpotensi seluruh keluarga akan tertular covid-19, sebab – sekali lagi – dapat dipastikan bahwa ketika di rumah”, seluruh penghuni rumah tidak menggunakan masker dan jaga jarak fisik interaksi.

Demikian juga dengan PSBB – jika boleh mengacu pada WFH (sebagai dasar dari perluasan menjadi PSBB), apakah bisa dipahami bahwa interaksi fisik (tatap-muka) yang dibatasi/dilarang adalah interaksi fisik di luar kota atau propinsi domisili yang bersangkutan; atau interaksi fisik diperbolehkan jika dilakukan di kota/propinsi domosili masing-masing seperti kebijakan WFH? Kota atau propinsi menjadi “rumah kita”? sebagai contoh, warga pemukiman padat biasanya jarang bertemu karena masing-masing harus keluar rumah untuk mencari nafkah, karena adanya kebijakan WFH (dan PSBB) maka mereka justru banyak waktu untuk berkumpul (pastinya tidak menggunakan masker karena menurut mereka tidak keluar rumah mencari nafkah, maka kampung mereka adalah rumah mereka.

Dengan kaburnya konsep “jarak fisik interaksi” dengan “tempat atau ruang interaksi sosial” dari kebijakan PSBB ini, sebagai konsekuensinya kita melihat penerapannya di lapangan selama ini, akhirnya “semua orang” (tanpa kecuali) akan diisolasi di rumah masing-masing – baik bagi wilayah administrasi yang sudah diberlakukan PSBB atau pun yang belum. Pertanyaannya, apakah kebijakan PSBB ini benar-benar efektif untuk mencegah “penularan baru” sehingga pandemik segera mereda?

Pertanyaan berikutnya, sampai kapan harus di rumah saja?

Sementara itu, tidak semua “kebutuhan dasar” kehidupan bisa dipenuhi tanpa keluar rumah, sehingga bisa diselesaikan dengan bantuan sembako (bagi golongan “miskin”) – apalagi penyalurannya pun banyak yang tidak tepat sasaran. Manusia tidak sekedar “mahkluk biologi”, tetapi juga sebagai “mahkluk sosial” dan “mahkluk budaya”. Artinya, manusia mempunyai kebutuhan-kebutuhan dasar (survive – agar tidak mati) tidak hanya kebutuhan dasar sebagai mahkluk biologi, tapi juga mempunyai kebutuhan-kebutuhan dasar sebagai mahkluk sosial dan budaya. Jadi, bukannya tidak mungkin akan terjadi depresi sosial skala nasional jika isolasi sosial (harus dirumah) terlalu lama diberlakukan. Sebab manusia tidak akan tahan terlalu lama diisolasi sosial meski di rumah sendiri. Bung Karno saja tidak mampu bertahan…

Semoga ada solusi yang lebih komprehensif.

QPam
28 April 2020

 

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

PANDEMIK COVID-19 DAN BERPIKIR JARINGAN

Dunia ini adalah sebuah jaringan, yang terdiri dari berbagai entitas yang saling terkoneksi satu sama lain sebagai satu kesatuan. Hal ini juga berarti bahwa tak satu pun entitas bisa merasa lebih penting dari entitas yang lain. Ibarat organ jantung atau batang otak, yang menurut ilmu kedokteran adalah yang menentukan seseorang itu masih hidup atau sudah meninggal. Tapi, meski jantung dan batang otak masih berfungsi…apakah manusia masih bisa hidup tanpa paru-paru, usus, darah dan yang lainnya? Tentu saja tidak.

Demikian juga dalam kasus pandemik Covid-19, tidak serta merta bahwa kita hanya memerlukan ahli virus. Untuk mengatasi pandemik ini, kita memerlukan juga dokter ketika virus tsb masuk ke tubuh manusia, perlu ahli kesehatan masyarakat dan ahli ilmu sosial sebab virus Covid-19 bisa masuk ke tubuh manusia dan menular ke manusia lainnya bukan karena sifat/karakter virus semata tapi berkaitan dengan pola hidup, perlu juga ahli teknik untuk alat-alat kedokteran yang dibutuhkan, perlu ahli kimia, perlu juga ahli ekonomi untuk pembiayaan dsb. Untuk itu dalam memahami kasus pandemik covid-19 ini perlu pemahaman dan penanganan yang komprehensif. Artinya, kita tidak bisa melihatnya secara atomistik dan ada yang merasa paling penting.

Namun, meski tidak ada yang lebih penting dari yang lain sebagai satu kesatuan, bukan berarti semua harus menjadi sentral. Menjadi sentral atau tidak, ini sangat kontekstual. Jika jantung yang bermasalah maka jantung akan menjadi sentral dan organ lainnya tetap penting agar jantung tsb tetap bermakna bagi kehidupan seluruh organ tubuh.

Dalam situasi pandemik saat ini, tentu saja ahli virus adalah sentralnya dan para ahli lainnya harus saling mendukung untuk menghentikan “penularan baru” dan mencegah “jatuhnya korban”.

  1. Menghentikan “penularan baru”

Lock Down, karantina, social distancing atau istilah apa pun, sesungguhnya “apa atau siapa” yang akan diisolasi…apakah kota, negara, semua orang, carrier, atau covid-19?

Untuk menghentikan pandemik tentunya, pertama kita harus menghentikan proses “penularan baru”. Lalu mengapa kok tidak memetakan dulu penyebaran covid-19 dulu yang harus dilakukan? Dalam kondisi pandemik, kita harus berasumsi bahwa covid-19 itu sudah menyebar ke seluruh dunia, artinya covid-19 sudah berada di sekitar kita. Hal ini bisa dijelaskan dengan “6 degrees separation” Milgram, bahwa manusia di mana pun di dunia ini akan terhubung dalam “6 hubungan pertemanan”. Ketika teori ini diterapkan dalam melihat kasus pandemik Covid-19, akan lebih cepat persebarannya dari apa yang disampaikan oleh Milgram, sebab manusia tidak hanya berinteraksi secara fisik dengan temannya saja – tetapi juga dengan orang-orang yang bukan-teman. Jadi, selama masa inkubasi Covid-19 (14 hari), bisa kita bayangkan, pastinya sudah menyebar ke seantero dunia sejalan dengan kompleksnya konteks kehidupan dan teknologi transportasi kita. Untuk itu pula, kita tak perlu lagi melakukan test massal jika tujuannya hanya untuk mengetahui “peta persebaran”. Karena, hal ini hanya berdampak pada “kepanikan massal” yang tentunya akan membawa konsekuensi pada masa pandemik yang akan semakin panjang.

Untuk itu, kita harus sudah mulai mengubah sentral untuk mengatasi pandemik ini, yaitu kepada tujuan “menghentikan penularan baru” (asumsi bahwa covid-19 sudah menyebar di Indonesia. Tapi mengapa ada yang tidak sakit, jawabannya adalah “kekebalan tubuh”). Jadi dengan upaya menghentikan “penularan baru” adalah sama halnya menghentikan penyebaran dan diharapkan bisa menghentikan pandemik, sebab covid-19 mempunyai masa inkubasi dengan waktu yang ada batasnya (menurut ahli virus 14 hari).

Langkah-langkah yang harus dilakukan:

1, Mencegah Penularan Baru

a. kembali pada covid-19 sebagai sentral. Penularan covid-19 dari satu manusia ke manusia lainnya adalah melalui droplet (medium), yang keluar dari mulut atau hidung. Jadi yang harus diisolasi adalah mulut dan hidung agar covid-19 tidak menular ke orang lain. Misalnya dengan menggunakan masker saat berinteraksi dengan orang lain (tatap muka) – berlaku bagi siapa pun.

b. droplet bisa tercecer ke benda-benda di sekitar kita (medium nonhuman), tentu saja ini bisa diatasi dengan sanitasi.

Jika hal ini dilakukan dengan disiplin oleh seluruh masyarakat, saya yakin dalam rentang waktu inkubasi covid-19, pandemik akan mereda. Disinilah diperlukan sosialisasi, aturan dan sanksi, aparat serta komponen masyarakat terkait. Ada beberapa negara yang telah melakukan cara ini dan berhasil.

2. Mencegah Korban

Isolasi kepada orang yang diduga positif dan yang sakit (positif – apalagi yang termasuk kategori rentan), tentunya ini lebih diperlukan bantuan dari tenaga medis dan kategori rentan perlu diutamakan.

3. Decomposing Kepanikan Massal.

Oleh karena covid-19 belum ada obatnya, maka kekebalan tubuh adalah kuncinya. Untuk itu, sesungguhnya dari poin 1 dan 2, lebih awal harus melakukan “decomposing kepanikan massal”, sebab dalam situasi pandemik – kepanikan massal tsb sudah terjadi. Jika kepanikan massal ini terus terjadi tentunya akan menurunkan daya kekebalan tubuh nasional (jika stress maka kekebalan tubuh akan sulit ditingkatkan). Tak hanya itu, dampaknya akan terjadi rush buying (dari sembako, vitamin hingga masker), RS akan overloaded, tenaga medis akan overworked dan masih banyak lagi dampak negatif lainnya seperti mis. Isu Lock Down membuat warga curi start untuk mudik karena takut tidak bisa mudik ketika sudah di Lock Down. Tanpa dibekali pemahaman, mudik juga bisa membawa konsekuensi “penularan baru” – memperpanjang masa pandemik.

Q-Pam

Awal April 2020

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

Berpikir Jaringan Di Era Digital

PELATIHAN

BERPIKIR JARINGAN DI ERA DIGITAL:

Pusat StudiJepang (PSJ) Universitas Indonesia, 27-28 September 2019

 

Apakah benar bahwa kita sedang berada di era “disruptif”? Ataukah, kerangka pikir kita yang mengalami keterbatasan dalam memahami era di mana perubahan – gerak dan dinamika yang begitu cepat (cenderung hiruk-pikuk, seolah-olah keajegan hanya bersifat sangat sementara – tak menentu) di era digital ini?

Perubahan sosial budaya dewasa ini semakin cepat (“the runaway world”) sehingga kehidupan manusia menjadi semakin kompleks. Metodologi penelitian ilmu-ilmu sosial budaya yang konvensional, seperti membuat batas-batas kebudayaan yang tegas, memandang kelompok masyarakat yang seolah homogen, dan kebudayaan yang statis, semakin mengalami keterbatasan. Jaringan Sosial sebagai frame of reference adalah sebuah pendekatan alternatif dalam ilmu-ilmu sosial yang mampu mengidentifikasi, mendeskripsikan, dan menganalisis aktor-aktor sosial, relasi, dan struktur sosial dalam kelompok masyarakat yang kompleks (lintasbatas: territorial, atribut, kategorikal) di tengah arus dinamika-perubahan-gerak yang begitu cepat (high speed).

Namun, apakah hanya di dunia online yang hiruk-pikuk? Bagaimana dengan kehidupan offline – apakah tidak hiruk-pikuk? Apa korelasi kehidupan online dan offline?

Kita tidak bisa berharap bahwa teknologi yang diciptakan akan dipergunakan sesuai dengan tujuan penciptaannya. Bisa bermanfaat, tapi bisa juga merugikan – Ibarat pisau yang sering digunakan untuk menodong atau membunuh. Lalu, pisau dilarang untuk dipergunakan. Sungguh sangat sulit dibayangkan jika kehidupan tanpa teknologi (apalagi di era digital).

Namun, di sisi lain, kita juga tidak bisa sepenuhnya mengandalkan teknologi – dalam arti teknologi bisa menyelesaikan atau menjawab semua persoalan. Teknologi hanyalah sebuah sarana dan menyempurnakan, manusialah yang mengambil keputusan atas tindakan-sikap-perilaku. Disinilah pentingnya “Berpikir Jaringan”, sebab realita kehidupan adalah realita jaringan.

CP:

Rendy Ananta

0811 1813 228

 

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

NETWORK SOCIETY: Teknologi Hanyalah Sarana

https://www.pajs-indonesia.org/riset-publikasi/network-society-teknologi-hanyalah-sarana

 

Secara garis besar, kelahiran gagasan Network Society merupakan akibat dari perubahan sosial, budaya, politik dan ekonomi yang luar biasa sebagai konsekuensi atau dampak dari perkembangan teknologi komunikasi dan informasi di era digital. Dari beberapa tokoh atau ilmuwan yang mengemukakan gagasan network society, pemikiran Manuel Castell lah yang paling sering didiskusikan dalam komuniti ilmiah.

Kehadiran teknologi komunikasi dan informasi ini menjadi fenomenal karena pada hari ini telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat dalam berbagai aspek (dimensi) kehidupan. Berkat perkembangan teknologi komunikasi dan informasi tersebut (mikroelektronika), masyarakat di seluruh dunia menjadi saling terkoneksi satu sama lain sebagai satu kesatuan dalam berbagai dimensi kehidupan. Dunia memang tak selebar daun kelor, tapi kini hanya seluas layar handphone. Oleh karenanya, ketika kita tanpa gadget serasa hidup dalam kesendirian – menjadi mahkluk yang terisolir.

Di era digital, teknologi komunikasi dan informasi membuat transformasi dalam kehidupan sosial. Ruang dan waktu termampatkan sedemikian rupa, seolah-olah tanpa jarak dan sekat sekat atau batas. Oleh karenanya, Castells mengusulkan untuk meninggalkan gagasan ‘information society’ karena tidak dapat menangkap esensi  dari apa yang sedang terjadi (transformasi) dalam kehidupan sosial. Kita harus beranjak kepada ‘network society’ dalam bukunya The contours of the network society (2000).

Berdasarkan uraian di atas, gagasan tentang network society (Castells dan lainnya) jelas bahwa gagasan tersebut merupakan hasil pemikiran yang lahir dari dampak perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang sedemikian dahsyat – di mana teknologi tersebut telah menjadi bagian dari diri masyarakat (tak terpisahkan) dalam kehidupannya sehari-hari – sehingga mempengaruhi (bahkan menentukan) tindakan-sikap-perilaku dan tata-nilai kehidupan masyarakat – sebagai konsekuensi dari “saling keterkoneksian”. Jadi, semakin banyak dan menggejala (hampir seluruh masyarakat) menjadikan teknologi komunikasi dan informasi (internet-digital) menjadi bagian dominan dalam berbagai kehidupan sehari-hari maka seluruh dunia akan terkoneksi satu sama lain menjadi satu kesatuan (kesatuan sosial). Dengan kata lain, network society membicarakan sebuah struktur sosial atau tatanan sosial yang terbentuk akibat dari “teknologi informasi dan komunikasi” yang membuat seluruh masyarakat (individu, sekumpulan individu atau organisasi sosial/politik) saling terkoneksi menjadi satu kesatuan, sehingga “saling keterkoneksian” ini mempengaruhi-membentuk-membatasi tindakan-sikap-perilaku manusia atau masyarakat.

Jika memang demikian, maka “apakah sebelum lahirnya teknologi komunikasi dan informasi tersebut, sebuah masyarakat – bahkan dunia pada saat itu – belum “saling terkoneksi” satu-sama lain sebagai satu kesatuan”? Lalu, bagaimana dengan hubungan perdagangan antar benua yang sudah ada sejak sebelum masehi? Demikian halnya, sejak lahirnya gagasan tentang kerajaan dan negara – apakah semua itu (negara atau kerajaan) tidak terkoneksi satu sama lain? Dan, apakah saling keterkoneksian saat itu tidak mempengaruhi, membentuk dan membatasi tindakan-sikap-perilaku dan tata-nilai masyarakat?

Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan di atas, dalam konteks ini, para pemikir gagasan network society tersebut, tanpa sadar memahami dunia digital dan dunia tatap-muka seolah-olah seperti terpisah satu sama lain (bukan sebagai satu-kesatuan), padahal secara tegas mereka menyatakan bahwa lahirnya gagasan network society justru adalah sebagai dampak dari “teknologi informasi dan komunikasi yang dimaksud, “menyatu” dalam kehidupan sosial sehari-hari”.

Gagasan tentang masyarakat merupakan sebuah jaringan, sesungguhnya bukanlah hal baru. Simmel (1908) menegaskan bahwa masyarakat adalah “jaringan pasangan hubungan sosial” – hubungan diadik yang akrab/intim, yang terdiri dari sepasang hubungan kerabat dan sepasang hubungan non-kerabat – yang sangat kompleks. Kita terkoneksi satu sama lain menjadi sebuah satu kesatuan sosial melalui hubungan kerabat dan non-kerabat. Oleh karena itu pula, kita seringkali bertemu “orang baru”, ternyata kita memiliki teman/sahabat yang sama atau kerabat yang sama.

Gagasan tentang masyarakat adalah jaringan sosial ini diperkuat oleh temuan Milgram (1967) yang dikenal dengan six degrees separation, yang menyatakan bahwa “siapapun (dua individu) di dunia ini akan terhubung satu sama lain dalam enam (6) rangkaian hubungan pertemanan” dalam eksperimen “surat berantai”nya. Artinya, masyarakat pada saat itu (sebelum hadirnya teknologi komunikasi dan informasi – mikroelektronika) sudah saling terkoneksi satu sama lain sebagai satu kesatuan sosial, yaitu melalui hubungan sosial.

Demikian halnya dengan masalah saling keterkoneksian saat itu – apakah tidak mempengaruhi, membentuk dan membatasi tindakan-sikap-perilaku dan tata-nilai sebuah masyarakat? Bukankah sudah sejak lama, kita juga mengenal adanya “jaringan gosip”. Fakta, data atau informasi (konten sosial yang beredar) mereka produksi sendiri dan disebarkan sendiri antar anggota mereka sendiri (amplifikasi) dan akhirnya menghasilkan “kebenaran kolektif” mereka sendiri. Contoh yang lain, saat pilpres 2019 yang baru lalu, informasi di dunia maya beredar viral bahwa Presiden Jokowi adalah PKI. Informasi ini diterima oleh masyarakat luas, tapi tidak semua orang menerima kebenaran bahwa Presiden Jokowi adalah PKI. Hanya jaringan sosial tertentu yang mengamininya – sementara itu, yang lain tidak terpengaruh. Padahal “penyebaran informasi” tersebut sudah menggunakan teknologi komunikasi dan informasi mikroelektronika. Jadi, tekonologi secanggih apapun…teknologi hanyalah sarana, manusialah yang memutuskan tindakan-sikap-perilaku dan membentuk tata-nilai. Sekali lagi, hal ini menunjukkan bahwa hubungan sosial adalah kuncinya. Hubungan sosial itu ibarat sebuah pipa yang bisa dialiri apa saja – informasi, produk, sumberdaya, power, sentiment dll. Jadi, semuanya (konstruksi-rekonstruksi dan produksi-reproduksi) terjadi dan mengalir dalam rangkaian hubungan sosial.

Selanjutnya, jika hubungan sosial adalah kunci dari “saling keterkoneksian” dan terjadinya perubahan sosial, lalu apa peran dari teknologi komunikasi dan informasi di era digital dalam hal ini?

Memang… Six degrees separation pada saat itu belum menghebohkan dunia (banyak yang tak menyadarinya), meskipun Milgram telah menyatakan dengan tegas bahwa “meskipun jarak geografis dan sosial di antara mereka (antar pasangan hubungan sosial – siapapun) adalah jauh, sesungguhnya mereka dekat dalam rangkaian hubungan sosial pertemanan”. Jarak fisik dan sosial termampatkan di dalam rangkaian hubungan sosial. (Agusyanto, 2018). Namun, ketika temuan Milgram tersebut diterapkan dalam teknologi komunikasi berbasis internet, yang hasilnya melengkapi telpon dan postal sebagai sistem yang available – di mana jaringan sosial mampu menghubungkan dua (2) orang di mana pun mereka berada melalui email, facebook, twitter, whatsApp, dan lain-lain, maka six degrees separation di dunia online bisa terjadi dalam hitungan detik. Dengan kata lain, apapun yang kita lakukan di dunia maya atau online juga bisa disaksikan oleh siapapun melalui email, facebook, twitter, whatsapp, instagram dan sejenisnya. Kejadian di pelosok bumi di mana pun bisa disaksikan dalam waktu bersamaan (realtime).

Jarak fisik dan sosial (ruang) tak lagi menjadi kendala. Tak hanya itu, tapi juga termampatkannya “waktu” – era Kesegeraan dan Keserempakan telah terjadi. Dengan koneksi antar aktor atau akun yang stabil dalam dunia maya (internet) maka semua saling terkoneksi – serba cepat dan mudah –  seolah-olah kita tinggal dan hidup di sebuah “desa global”. Dunia seolah-olah mengecil – fenomena dunia mengecil (Agusyanto, 2010). Kondisi ini (era digital) membuat jaringan sosial (masyarakat jaringan) terasa nyata dalam kehidupan kita sehari-hari.

Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa sudah sejak dulu masyarakat itu adalah sebuah jaringan sosial yang sangat kompleks. Dan, hubungan sosial sudah sejak dulu “memampatkan “ruang” (jarak fisik dan sosial) dan “waktu”. Teknologi komunikasi dan informasi hanya menyempurnakannya.

 

Ruddy Agusyanto

24 Juli 2019

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

Pernahkah Kita Berada di Era “Kebenaran”? (seri-post-truth)

(Ruddy Agusyanto)

seri #berpikirjaringan #post-truth #jaringansosial #analisisjaringansosial #pusatanalisisjaringan

 

Belakangan ini, post-truth sedang menyita perhatian banyak pihak. Ia menjadi topik utama pembicaraan dalam memahami tindakan-sikap-perilaku kolektif  terkait dengan peristiwa politik nasional dan ketegangan sengketa pemilu 2019 yang masih terus membara hingga saat ini.

 

Ada apa sebenarnya dengan post-truth sehingga sedemikian menyita perhatian kita semua?

 

Istilah post-truth yang dimaksud, awalnya diperkenalkan oleh Steve Tesich pada 1992. Post truth disampaikan sebagai sebuah refleksi terhadap terjadinya skandal Iran dan Perang Teluk. Namun, saat itu istilah post-truth tidaklah seheboh saat ini. Post-truth menggejala setelah terjadinya dua peristiwa politik yang menggemparkan dunia di tahun 2016 di mana post-truth dianggap sebagai biang kerok dari peristiwa keluarnya Inggris Raya dari Uni Eropa (Brexit) dan terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat.

Berdasarkan kejadian peristiwa-peristiwa politik di atas, keadaan post-truth disinyalir sebagai hasil dari fakta, data atau informasi palsu yang disebarkan secara berulang-ulang (repetitif) secara sistematis dan masif. Singkatnya, sebuah “kebohongan” jika diulang-ulang secara terstruktur-sistematis-masif (pinjam istilah pemilu) dapat menghasilkan sebuah “kebenaran  yang tak terbantahkan” yang sesungguhnya adalah “kebenaran palsu” karena dibangun berdasarkan pada data atau fakta palsu. Oleh karenanya, post-truth dianggap sangat mengkhawatirkan terhadap kelangsungan sebuah tatanan kehidupan sosial karena fakta dan data sudah tak lagi menjadi dasar untuk menentukan sebuah kebenaran kolektif. Oleh karenanya pula, tidaklah keliru jika banyak pihak merasa khawatir. Sebab, jika sudah demikian, tentu saja yang namanya paradigma, teori dan kosep apapun juga tidak akan berpengaruh terhadap sebuah “kebenaran palsu” tsb.

 

Namun, di balik semua kekhawatiran tentang post-truth ini, juga memunculkan pertanyaan mendasar, yaitu “apakah di masa lalu, kita pernah berada di (atau mengalami) era kebenaran?” Pertanyaan mendasar inilah yang mungkin bisa mengurangi sedikit kekhawatiran kita semua terhadap post-truth.

 

Sejak dahulu, rasa-rasanya sepanjang kehidupan manusia bisa disimpulkan belum pernah ada yang namanya “kebenaran tunggal”. Dalam kehidupan, kita selalu bertabur kebenaran tentang sesuatu dengan banyak versi. Bukankah selama ini, kita juga mengenal adanya “jaringan gosip”, di mana kebenaran di sana adalah kebenaran subyektif mereka (kebenaran kolektif), yang berbeda dengan kebenaran di luar jaringan gosip tsb. Fakta, data atau informasi (konten sosial yang beredar) mereka produksi sendiri dan disebarkan sendiri antar anggota mereka sendiri (amplifikasi) dan akhirnya menghasilkan “kebenaran kolektif” mereka sendiri. Apakah kebenaran tsb mereka bangun dari data, fakta atau informasi yang “benar” atau “palsu”? Wallahu a’lam… Contoh ekstrim, ibarat peristiwa jeruk dan apel. Ketika saya memegang buah jeruk, tiba-tiba ada seseorang yang mengatakan bahwa apa yang saya pegang itu adalah buah apel dengan sangat meyakinkan. Maka, muncullah keraguan tentang buah jeruk yang ada digenggaman saya. Sejak saat itulah, saya mulai berusaha mencari kebenaran untuk menghapus keraguan tentang buah yang saya pegang: “ini buah jeruk atau apel? Saya pun mulai bertanya kesana kemari, tentu saja kepada teman-teman (alter) saya – jaringan relasi diadik. Ketika semua teman-teman dan teman-teman alter saya (hubungan tak langsung) mengatakan bahwa buah yang saya pegang adalah “apel”. Akhirnya, saya pun meyakininya dengan sepenuh hati bahwa buah yang ada digenggaman saya adalah “apel” dan bukan jeruk.

Hal semacam ini sesungguhnya juga tak hanya terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari. Bahkan dalam dunia akademis pun selalu diwarnai banyak versi kebenaran. Misal saja tentang tindakan-sikap-perilaku manusia – ada banyak paradigma dengan berbagai alirannya atau cabang-cabangnya, dengan teori dan konsepnya masing-masing – yang semuanya itu meyakinkan kita bahwa pemahaman tentang tindakan-sikap-perilaku manusia yang diulasnya adalah benar – kebenaran versi paradigma, teori dan konsep yang mereka pegang masing-masing.

Dengan demikian, sesungguhnya dalam kehidupan sosial ada banyak kebenaran dan bisa jadi terdapat saling berhubungan antara kebenaran yang satu dengan yang lainnya. Sebab, sejatinya keberadaan (eksistensi) sebuah kebenaran A adalah karena adanya keberadaan kebenaran lainnya – yang bukan kebenaran A (kebenaran B, C, D, E dst). Berdasarkan kenyataan ini, maka pertanyaan selanjutnya adalah kebenaran versi mana yang harus menjadi “kebenaran universal” atau “kebenaran kita”? Atau – apakah ada kebenaran mutlak – yang bisa kita yakini sebagai kebenaran tunggal? Jika demikian, lalu apa sebenarnya yang mencemaskan dari post-truth?

Jika ditilik dari peristiwa-peristiwa politik di atas yang menghasilkan istilah atau konsep post-truth, yang menjadi kecemasan banyak pihak adalah masalah “monopoli” atau “pemaksaan” kebenaran kepada pihak atau kolektif lain sehingga menjadi “kebenaran tunggal atau mutlak” atau “kebenaran yang membabi-buta”. Dengan demikian, post-truth tidak menghormati kebenaran yang lain dan bisa menghasilkan tindakan-sikap-perilaku intoleran dari para penganutnya, karena berupaya “meniadakan” kebenaran-kebenaran lainnya. Lebih jauh, bisa saja akan mengancam eksistensi kolektif lain yang berbeda kebenaran atau mereka yang menolak post-truth. Jika demikian, tentu saja hal ini akan membahayakan tatanan kehidupan sosial. Untuk itu, yang perlu diwaspadai adalah agenda di balik post-truth.

Kondisi ini semakin mencemaskan ketika kita memasuki era digital, di mana kita memasuki dunia serba “segera dan serempak” – fenomena dunia mengecil – sehingga tak hanya masalah kecepatan, tetapi juga mempunyai daya jangkau yang luas (lintas-status sosial, lintas-kategorikal dan lintas-geografis). Ini semua adalah implikasi dari six degrees separation Milgram yang diterapkan dalam mikro-elektonika (berbasis internet). Akibatnya, post-truth menjadi menggejala dan mengantarkan kita memasuki era post-truth. Ini pula mungkin yang menyebabkan mengapa post-truth di tahun 1992 tidak menggejala seperti saat ini.

Jika demikian, lalu… “bagaimana seharusnya menyikapinya agar tidak mengganggu keberlangsungan kehidupan sosial atau menimbulkan bencana kemanusiaan? Haruskah kita mengharamkan teknologi komunikasi dan informasi karya Milgram ini demi ketenteraman kehidupan sosial ataukah ada langkah-langkah alternatif lain? Tapi, yang pasti kita tidak mungkin hidup tanpa teknologi komunikasi dan informasi. Teknologi hanyalah sarana atau alat, manusialah yang memutuskan tindakan-sikap-perilaku, termasuk atas “kebenaran” yang diyakininya.

Pertanyaan dasar berikutnya yang mungkin juga bisa mengurangi kecemasan kita akan era post-truth adalah “apakah keyakinan personal atau kolektif atas sebuah kebenaran bisa berubah? Tentu saja bisa!!! Lalu, apakah hal ini juga berlaku untuk “kebenaran palsu” atau “kebenaran buta”? jawabnya, juga “bisa”, meskipun tidak mudah untuk dilakukan (contoh antara jeruk dan apel di atas). Kuncinya adalah di jaringan hubungan sosial, sebab reproduksi dan rekonstruksi sosial (termasuk tentang kebenaran) terjadi di sana. Semuanya mengalir sepanjang rangkaian hubungan sosial. Jadi, jika teknologi informasi dan komunikasi di era digital dikhawatirkan akan membuat (composing) post-truth semakin meraja lela (menjadi sebuah era), maka sudah seharusnya kita yakin pula bahwa teknologi informasi dan komunikasi juga bisa digunakan untuk mengurai (decomposing) post-truth  dan mengcomposing “kebenaran selain post-truth”.

https://www.pajs-indonesia.org/riset-publikasi/pernahkah-kita-berada-di-era-kebenaran-post-truth

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar