MANUSIA BUKAN SEKEDAR MAKHLUK BIOLOGI – PANDEMIK COVID19

MANUSIA BUKAN SEKEDAR MAKHLUK BIOLOGI

Sehubungan dengan respons dari berbagai komponen masyarakat yang beranekaragam atas kebijakan PSBB – mulai dari respons atas PSBB yang akan diberlakukan di suatu kabupaten/kota/propinsi, perpanjangan masa PSBB beberapa propinsi, hingga pelarangan tradisi mudik lebaran. Ada yang mendukung kebijakan tersebut tapi ada yang tidak setuju, dengan alasannya masing-masing, bahkan juga terjadi pembangkangan sosial. Masing-masing alasan tersebut juga menggambarkan “kepanikan” yang berbeda-beda. Kepanikan pebisnis akan berbeda dengan kepanikan para pekerja, kepanikan pekerja tetap akan berbeda dengan kepanikan pekerja tidak tetap…dst. Hal ini juga menandakan bahwa penerapan kebijakan PSBB tersebut mempunyai konsekuensi yang berbeda-beda. Oleh karena itu, tulisan ini tidak bermaksud untuk membahas tentang setuju atau tidak setuju atas kebijakan PSBB juga atas kebijakan larangan mudik. Tapi mencoba melihat manusia dari lebih banyak sisi terkait dengan kebijakan PSBB.

Selama ini kebijakan PSBB mengaburkan antara pengaturan atau pembatasan antara “jarak fisik interaksi” dengan “tempat atau ruang interaksi sosial”. Sebab, kebijakan tersebut tidak berdasarkan (fokus) pada inti permasalahan, yaitu “pencegahan penularan” (menghentikan penularan baru) sehingga tampak lebih mengutamakan “ruang interaksi” ketimbang “pencegahan penularan” itu sendiri, yaitu mencegah berpindahnya covid-19 dari seseorang ke orang lain – mencegah keluarnya covid-19 (droplet) dari mulut atau hidung seseorang.

Baik WFH maupun PSBB hanya fokus kepada “ruang interaksi” dan tidak bicara soal “jarak fisik interaksi”, apalagi tentang bagaimana covid-19 bisa berpindah dari satu orang ke orang yang lain. Misalnya, WFH – interaksi sosial di luar rumah dibatasi atau dilarang tapi interaksi fisik di dalam rumah diperbolehkan (bahkan dianjurkan) meski tanpa “masker” dan “jaga jarak fisik interaksi”. Lalu, bagaimana jika ada salah satu anggota keluarga (satu rumah) yang positif tapi tidak menunjukan gejala (carrier)? Bukankah justru membawa covid-19 ke dalam rumah? Atau, oleh karena belum terbiasa memakai masker saat berada di luar rumah sehingga mempunyai kemungkinan tertular saat di luar rumah tapi tidak menunjukan gejala sakit (carrier). Dengan adanya himbauan untuk “tetap dirumah” (dan PSBB), maka himbauan ini bukankah justru bisa berpotensi seluruh keluarga akan tertular covid-19, sebab – sekali lagi – dapat dipastikan bahwa ketika di rumah”, seluruh penghuni rumah tidak menggunakan masker dan jaga jarak fisik interaksi.

Demikian juga dengan PSBB – jika boleh mengacu pada WFH (sebagai dasar dari perluasan menjadi PSBB), apakah bisa dipahami bahwa interaksi fisik (tatap-muka) yang dibatasi/dilarang adalah interaksi fisik di luar kota atau propinsi domisili yang bersangkutan; atau interaksi fisik diperbolehkan jika dilakukan di kota/propinsi domosili masing-masing seperti kebijakan WFH? Kota atau propinsi menjadi “rumah kita”? sebagai contoh, warga pemukiman padat biasanya jarang bertemu karena masing-masing harus keluar rumah untuk mencari nafkah, karena adanya kebijakan WFH (dan PSBB) maka mereka justru banyak waktu untuk berkumpul (pastinya tidak menggunakan masker karena menurut mereka tidak keluar rumah mencari nafkah, maka kampung mereka adalah rumah mereka.

Dengan kaburnya konsep “jarak fisik interaksi” dengan “tempat atau ruang interaksi sosial” dari kebijakan PSBB ini, sebagai konsekuensinya kita melihat penerapannya di lapangan selama ini, akhirnya “semua orang” (tanpa kecuali) akan diisolasi di rumah masing-masing – baik bagi wilayah administrasi yang sudah diberlakukan PSBB atau pun yang belum. Pertanyaannya, apakah kebijakan PSBB ini benar-benar efektif untuk mencegah “penularan baru” sehingga pandemik segera mereda?

Pertanyaan berikutnya, sampai kapan harus di rumah saja?

Sementara itu, tidak semua “kebutuhan dasar” kehidupan bisa dipenuhi tanpa keluar rumah, sehingga bisa diselesaikan dengan bantuan sembako (bagi golongan “miskin”) – apalagi penyalurannya pun banyak yang tidak tepat sasaran. Manusia tidak sekedar “mahkluk biologi”, tetapi juga sebagai “mahkluk sosial” dan “mahkluk budaya”. Artinya, manusia mempunyai kebutuhan-kebutuhan dasar (survive – agar tidak mati) tidak hanya kebutuhan dasar sebagai mahkluk biologi, tapi juga mempunyai kebutuhan-kebutuhan dasar sebagai mahkluk sosial dan budaya. Jadi, bukannya tidak mungkin akan terjadi depresi sosial skala nasional jika isolasi sosial (harus dirumah) terlalu lama diberlakukan. Sebab manusia tidak akan tahan terlalu lama diisolasi sosial meski di rumah sendiri. Bung Karno saja tidak mampu bertahan…

Semoga ada solusi yang lebih komprehensif.

QPam
28 April 2020

 

Tentang pajs indonesia

Antropogist Paradigma Jaringan Sosial Kualitatif-Konstruktivis
Pos ini dipublikasikan di Uncategorized. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar